Terpancing dengan artikel dihapuskannya pemakaian companion app untuk memperoleh equipment khusus dalam Assassin’s Creed Unity kemarin, dalam opini kali ini saya mengajak pembaca GIA untuk melihat kembali fungsi companion app sebagai bagian pengalaman bermain game di console generasi sekarang. Apakah gimmick “layar kedua” dari kebutuhan game modern ini masih relevan dipergunakan? Lantas apakah penggunaan companion app sebagai bagian dari layanan game AAA juga layak untuk memungut biaya kepada para penggunanya? Mari tuangkan uneg-uneg tersebut di sini.
Penggunaan companion app sebagai pelengkap kebutuhan gaming bukan lagi fenomena baru di ranah gaming modern. Saya tidak ingat kapan pastinya companion app diperkenalkan, tapi sepertinya companion app mulai marak dipergunakan semenjak Microsoft memperkenalkan Xbox Smartglass di tahun 2012 lalu. Saat itu Microsoft memperkenalkan kita bagaimana console game Xbox 360 dan game HALO 4 sinkron dengan Windows Phone 8 yang waktu itu gencar-gencarnya dipromosikan. Dan semenjak itulah para pelaku industri game mulai melirik layar kedua companion app sebagai gimmick baru dalam pengalaman gaming modern.
Tentunya ini bukan pertama kalinya bermain game dihiasi gimmick interaktif yang ditujukan untuk menarik minat para pemain. Jika kita melihat ke belakang, setidaknya ada berbagai macam inovasi gimmick bermain game yang telah kita lewati, mulai dari sarung tangan Power Glove, kamera Eye Toy, Kinect, dan yang paling terkini: penggunaan companion app dalam smartphone.
Beragam judul game rilisan developer AAA baik itu di platform Xbox One, PS3, PC, Xbox 360, dan PlayStation 4 rata-rata mengadopsi companion app sebagai gimmick yang memanfaatkan keunggulan layar perangkat mobile. Dengan memanfaatkan aplikasi tadi kita bisa melihat statistik permainan kita dalam pertandingan deathmatch, melihat posisi kita dalam peta dunia open-world, bahkan mengatur strategi pemain dalam permainan olahraga. Tak sedikit pula developer yang menyertakan elemen mini game ke dalam companion app sehingga aplikasi smartphone tersebut bukan sekedar menjadi pelengkap di saat bermain game di console saja, tapi juga bisa menginzinkan kamu memainkan companion app tersebut layaknya sebuah game mobile yang simpel.
Seiring makin kreatifnya para penerbit dan developer, companion app berkembang dari yang awalnya sebagai medium pelengkap hingga menjadi bagian dari progres permainan kamu di luar game utama. Konsep seperti ini saya rasa merupakan gambaran konkrit untuk menggambarkan betapa pihak penerbit game ingin penggunaan companion app dianggap relevan untuk menjawab kebutuhan gaming di era yang segala sesuatunya serba terkoneksi satu sama lain.
Gambaran sederhananya, companion app ke depan bisa jadi bukan sekedar menjadi penunjuk peta kamu saja tapi juga sebagai kebutuhan sekunder dalam game, sehingga alangkah semakin menakutkannya jika hal tersebut dimanfaatkan mereka untuk mengeruk keuntungan.
Game yang bisa saya contohkan mengenai kasus ini adalah ketika mengulas Evolve: Hunter Quest beberapa minggu lalu. Begitu kita memainkan game mobile yang merupakan bagian companion app dari game Evolve tersebut, kita akan menjumpai fitur character progression yang bisa dibilang cukup membantu para pemain Evolve saat sedang tidak bermain di depan PC/console. Kendalanya sekarang, Evolve: Hunter Quest terasa seperti game freemium yang biasa kita temui di App Store, sehingga implementasi IAP mengintai keberadaan dompetmu yang keburu kempis setelah membeli game Evolve versi PC/console yang mahal.
Hal serupa juga saya temukan ketika bermain Assassin’s Creed Unity sebelum patch kelimanya dirilis oleh Ubisoft. Seperti yang digambarkan Fahmi dalam ulasan Assassin’s Creed Unity yang ia tulis, game ini menyertakan peti khusus yang hanya bisa kamu buka setelah menjalani misi kecil yang ada di companion app Assassin’s Creed Unity. Ini artinya pihak developer menggiring pemainnya untuk mengunduh dan memainkan companion app game tersebut agar kamu bisa menikmati pengalaman bermain game ini secara total.
Tentunya ini bukanlah masalah baik itu bagi gamer kasual maupun gamer completionist yang doyan menghabiskan waktu agar pencapaian game dia meraih angka 100%. Yang jadi masalah adalah ketika penggunaan companion app tersebut mulai merepotkan kita dengan beragam login akun layanan gaming khusus dan yang paling parah keberadaan monetisasi companion app seperti yang ditunjukan gambar di bawah ini.
Memonetisasi companion app bagi saya pribadi merupakan hal yang tak perlu karena seharusnya aplikasi cukup menjadi pelengkap dari game utama yang kita mainkan saja. Pihak developer boleh saja beralasan mendirikan sebuah server yang menampung sinkronisasi antara mobile dan console membutuhkan biaya, namun jika mereka memang tidak memiliki dana atau teknologi “super murah” untuk itu, kenapa masih ngotot menghadirkan companion app? Kita sendiri juga tidak memiliki jaminan seandainya game utama yang kita mainkan sewaktu-waktu akan kehilangan fitur companion app mereka enam atau sepuluh tahun ke depan.
Produk turunan yang saya bahas di atas tadi merupakan dua contoh implementasi companion app sebagai medium layanan yang mulai terkontaminasi standar rendah baru dari hal-hal busuk di industri game. Memang tidak semua penerbit/developer game besar melakukan hal itu dan kita juga sebagai konsumen memiliki kesadaran penuh dalam memilih apa yang terbaik untuk kesenangan hobi kita bermain game. Namun jika ke depannya kita semakin diarahkan ke perilaku yang lebih konsumtif lagi dengan memerah uang kita lewat layanan companion app, jangan salahkan kami seandainya companion app menjadi bagian gimmick bermain game yang tak lagi kami sentuh di kemudian hari (penulis mengetik kalimat tadi dengan nada yang mengancam).
Bagaimana menurut kamu pembaca setia GIA? Apakah kamu pernah bermain game dengan memanfaatkan layar kedua companion app? Setujukah kamu jika game AAA berikutnya mengarahkanmu menggunakan companion app agar mendapatkan konten khusus? Silakan tuang uneg-uneg kamu di kolom komentar.
P.S.: Saat opini ini diterbitkan, saya yakin kemarin banyak pemain Assassin’s Creed Unity yang sujud syukur setelah syarat membuka peti khusus companion app dihilangkan dan mereka akhirnya bisa tidur nyenyak setelah mendapatkan pakaian Master Assassin yang mereka idam-idamkan.
Referensi: Gamasutra, The Guardian, dan Eurogamer
Artikel opini adalah artikel yang didasarkan atas pendapat pribadi sang penulis dan tidak menggambarkan pandangan Games in Asia Indonesia secara umum. Di Games in Asia Indonesia, kami menghargai pendapat semua orang baik penulis, kontributor, dan juga para pembaca.
Post [Opini] Apakah Companion App Masih Relevan Dalam Permainan Game Modern? muncul terlebih dahulu di Games in Asia Indonesia.