Jika tidak ada Medal of Honor maka tidak akan pernah ada Call of Duty. Yep, fakta itulah yang mendasari saya untuk mengangkat Medal of Honor ke dalam rubrik nostalgia review kali ini, meskipun nasib franchise game FPS milik EA tersebut sekarang justru terbengkalai setelah mengikuti trend “perang modern” Call of Duty dan gagal memenuhi ekspektasi penjualannya 2012 lalu.
Sedikit flashback menuju tahun 1999 silam, kemunculan Medal of Honor awalnya bermula dari eksperimen Dreamworks Interactive untuk mengimplementasikan kesuksesan GoldenEye 007 sebagai game FPS console pertama yang murni bukan merupakan porting dari game PC di masanya. Untuk itulah Dreamworks meminta sutradara kondang Hollywood: Steven Spielberg untuk menulis cerita Medal of Honor dengan tema perang dunia ke-2 yang diusungnya agar memberikan kesan cinematic yang belakangan sudah menjadi elemen wajib bagi game shooter di era modern.
Dalam Medal of Honor kamu bermain sebagai letnan Jimmy Petterson, seorang agen OSS yang diterjunkan untuk memerangi kependudukan Nazi di wilayah Eropa utara. Sepanjang permainan kamu di sini kamu diberikan bermacam objektif yang membuat permainan Medal of Honor benar-benar berbeda dengan judul FPS PlayStation lainnya di luar sana, mulai dari aksi penyusupan markas yang memberikan saya gambaran kasar dari gameplay stealth di masa itu, misi menghancurkan beberapa objek dalam waktu yang terbatas, escort mission, dan lain-lain sebagainya.
Pada masa itu, objektif yang saya temui di Medal of Honor sangatlah kontras bila dibandingkan dengan objektif old-school shooter (ala DOOM) lainnya yang lazim memintamu mengambil kunci A untuk membuka pintu B di setiap levelnya. Sehingga saya yakin, gamer berusia 20 tahunan yang dulunya pernah memainkan Medal of Honor pasti memiliki kenangan khusus saat memainkan game ini, terlebih lagi dengan presentasi slide-show ceritanya yang unik.
Dari segi kontrolnya sendiri, berhubung saat itu skema kontrol game FPS console belum ada yang mengadopsi tombol bahu (L2-R2) untuk menembak, sehingga kamu akan lebih banyak menghabiskan permainanmu dengan aturan tombol mukanya yang terbilang kaku. Well … kaku yang saya maksudkan tadi adalah kurang efektifnya penempatan tombol yang membutuhkan pergerakan jempol kananmu di setiap waktu. Coba kamu bayangkan, dengan penggunaan tombol X untuk menembak dan segitiga untuk mengatur aim, menembak objek yang terletak di atas atap merupakan hal yang merepotkan di Medal of Honor.
Untungnya sebagian besar musuh yang kamu jumpai di sini masih berada di bidikan target yang masih terbilang wajar, sehingga kamu hanya memerlukan fitur tombol aim ini di saat tertentu saja atau jika kamu ingin menembak musuh di bagian tubuh tertentu seperti kepala misalnya. Sehingga mau tak mau kamu akan mulai membiasakan diri dengan kontrol non-analog yang diusungnya, sebagai bagian dari learning curve kamu di Medal of Honor.
Untuk sebuah game FPS, Medal of Honor memiliki presentasi yang bagus pada bagian AI musuh yang membuat tingkat kesulitannya semakin bertambah seiring progres permainanmu di mode campaign. Tentara Nazi yang kamu hadapi di sini bukanlah sekedar AI bodoh yang panik dan menembakimu secara membabi buta karena dalam beberapa kesempatan mereka bahkan membunyikan alarm dan bermanuver untuk menghindari terjangan pelurumu. Uniknya lagi, tentara Nazi yang kamu hadapi juga bereaksi terhadap granat yang kamu lemparkan. Berhubung mereka lebih bernafsu untuk mengembalikan granat yang kamu lemparkan, kamu bisa mengeksploitasi pola yang satu ini untuk menembaki mereka di saat mereka sibuk melemparkan granatmu kembali.
Selain AI-nya yang menantang, Medal of Honor juga memiliki atmosfer cinematic yang lumayan dramatis berkat suguhan sound dan trek orkestra yang sangat epic. Untuk penilaian yang satu ini, saya mendesak kamu untuk mencoba memainkan Medal of Honor sendiri karena elemen tersebut hanyalah sense dari indera telinga kita saja yang bisa menilainya. Singkat kata, beberapa tahun sebelum Call of Duty memekakkan telinga kamu melalui musik dengan production value yang mewah, Medal of Honor telah memulainya terlebih dahulu di console abu-abu milikmu.
Di luar fitur single player yang saya jelaskan tadi, Medal of Honor menyertakan fitur split screen multiplayer yang merupakan suguhan paling menyenangkan di masanya. Saya sendiri masih ingat bagaimana saya berduel menghadapi sepupu saya sambil mengintip sekiranya di bagian peta manakah posisi dia berada, meskipun penurunan frame per second (fps) bukanlah hal yang kami risaukan di saat memainkannya dulu. Yep, its fun, dan seperti gamer bule bilang ”split screen multiplayer is the best things ever”
Lihat juga: Nostalgia Review PlayStation – Pelopor Bangkitnya Sebuah Legenda
Overall, Medal of Honor merupakan bagian dari sejarah panjang perkembangan FPS yang terus mengalami peningkatan hingga akhirnya bisa dinikmati di console seperti yang kamu temui saat ini. Meski saya menyayangkan pergeseran Medal of Honor dari game pionir yang justru menjadi pengekor tren Modern Warfare-esque ala Call of Duty, saya masih berharap EA mengembalikan franchise ini kembali ke akar mulanya sebagai game FPS bertema perang dunia ke-2, meskipun kecil sekali kemungkinannya.
Well, jika kamu berminat untuk kembali ke era “kehormatan” Medal of Honor dengan cara yang legal, kamu bisa memainkan game ini di PS3, PS Vita, dan PSP kamu melalui pembelian game PSN Store yang saya cantumkan di bawah ini. Selamat menembaki Nazi!
PlayStation Store Link: Medal of Honor™, $.5.99
Post Nostalgia Review Medal of Honor – Inspirator Call of Duty Yang Mulai Terlupakan muncul terlebih dahulu di Games in Asia Indonesia.