Quantcast
Channel: Tech in Asia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

CEO Rappler: Bagaimana Teknologi Bisa Membentuk Masa Depan Media

$
0
0

Dalam sesi keenam di Main Stage Tech in Asia Jakarta 2015 hari ini, Maria Ressa, seorang jurnalis dan entrepreneur asal Filipina, membagi pengalamannya saat mendirikan Rappler. Ia juga memaparkan bagaimana teknologi, khususnya media sosial, dapat mendorong perubahan sosial dengan lebih cepat dan efektif dibandingkan media tradisional.

Rappler sendiri adalah sebuah perusahaan startup media yang berpengaruh di Filipina. Perusahaan ini didirikan tahun 2012 oleh Maria yang pada saat itu mendapatkan pendanaan awal dari rekan-rekannya sesama jurnalis.

Berkat media sosial, Rappler berkembang sangat cepat dan dalam waktu kurang dari tiga tahun, Rappler telah mencapai break-even untuk investasinya.

Teknologi menciptakan pertumbuhan eksponensial

Sebagai pembuka, Maria mengungkapkan bahwa alasannya mendirikan Rappler adalah ikut berkontribusi bagi dunia. Ia memang bisa melakukannya lewat media tradisional, namun ia merasa pertumbuhan media tradisional bersifat linear sehingga membutuhkan waktu untuknya sebelum dapat melakukan perubahan.

Maria meyakini bahwa dengan teknologi, ia dapat menciptakan pertumbuhan eksponensial. Lewat teknologi dan dunia virtual, sebuah ide dapat tersebar dengan cepat dan menjangkau lebih banyak orang, memungkinkan perubahan untuk terjadi.

Baca juga: Memahami Konten Viral Media Sosial bagi Sebuah Brand
Maria mengambil gerakan “Million People March” sebagai contohnya. Gerakan ini hanya berawal dari sebuah post di Facebook yang kemudian mendorong orang untuk bergerak memprotes kebijakan pemerintah soal dana pork barrel.

Tanpa banyak koordinasi, belasan ribu orang turun ke jalan dan melakukan demonstrasi di pusat kota Manila. Di saat yang sama, hashtag #MillionPeopleMarch and #ScrapPork menjadi trending topic di Twitter Filipina, menandakan banyaknya orang yang memantau aktivitas tersebut. Menanggapi protes besar tersebut, pemerintah Filipina akhirnya memutuskan untuk membatalkan anggaran mereka.

Tanpa teknologi, protes ini memang masih mungkin terjadi. Tetapi dengan teknologi, impact tersebut tercipta dengan lebih cepat dan lebih efektif dibandingkan dengan media tradisional.

Menggerakkan emosi untuk mendorong perubahan sosial

Maria mengungkapkan bahwa Rappler mampu menggerakkan orang untuk mencegah terorisme, mengurangi kemiskinan, dan korupsi dengan menggunakan emosi.

Emosi sendiri, menurut Maria, merupakan hal yang paling menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu. 80 persen keputusan yang kita pilih dibuat berdasarkan emosi, bukan pemikiran rasional.

Di masa lalu, emosi menyebar secara fisik. Saat kita tersenyum berbahagia, ada 54 persen kemungkinan orang yang melihatnya juga akan ikut merasa bahagia, begitu pula dengan emosi lain seperti kesedihan dan kemarahan.

Baca juga: 5 Kiat Memaksimalkan Media Sosial untuk Pertumbuhan Startup Anda
Saat ini, emosi tersebut disampaikan dalam bentuk tweet atau post Facebook, yang kemudian menyebar lewat jejaring sosial seseorang. Tentu ini menyebabkan penyebaran emosi terjadi secara eksponensial.

Emosi yang paling mudah menyebar, menurut Maria, adalah emosi marah, sementara yang kedua tercepat adalah inspirasi.

Maria mengambil contoh bagaimana sebuah hashtag #saveMaryJane mengubah keputusan krusial. Saat itu, Indonesia sudah terlihat hampir pasti akan menghukum mati pekerja asal Filipina, Mary Jane, karena kedapatan membawa Narkoba.

Sekitar satu minggu sebelum Mary Jane dihukum mati, tim dari Change.org mendatangi Maria untuk meminta bantuan mempopulerkan hashtag tersebut, berharap bisa menggerakkan banyak orang untuk menentang hukuman mati yang diberikan.

Maria awalnya tidak percaya bahwa itu bisa mengubah keadaan. Jarak eksekusi hanya tinggal enam hari lagi. Namun Maria mempersilakan mereka untuk melanjutkan apa yang mereka rencanakan dan mendukung mereka.

Tak disangka, beberapa menit sebelum eksekusi dilakukan, hukuman mati untuk Mary Jane ditunda. Ini terjadi setelah rakyat Filipina menekan pemerintahnya untuk menemukan bukti baru secara cepat – dikompori oleh hashtag #saveMaryJane yang populer baik di Filipina maupun Indonesia ketika itu.

Saran untuk startup di Indonesia

Maria menyatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara paling penting di Asia Tenggara, “Jika Indonesia bersin, maka negara Asia Tenggara lainnya akan tertular.” Karena itu, perubahan dan kebaikan yang kita lakukan di Indonesia berpotensi menyebar ke negara lain. “Karakteristik orang Filipina dan Indonesia hampir sama, yang beda hanya bahasa saja,” ungkapnya.

Maria menyarankan bagi para entrepreneur di Indonesia yang ingin menciptakan peruabahan untuk bisa menciptakan satu media independen seperti Rappler. Ia merasa Indonesia kekurangan dalam hal ini, khususnya terlihat saat penyelenggaraan Pemilu 2014 lalu yang mana hampir semua media tradisional condong ke salah satu pihak.

Untuk mereka yang masih muda, Maria menyarankan untuk lebih berani dan tetap berusaha memberikan yang terbaik. Mereka yang berusia 20-an masuk dalam kategori digital native, yang menurut Maria mengetahui apa yang tidak diketahui orang-orang yang lebih tua. Di sanalah mereka dapat berkontribusi.


Maria membuktikan bahwa sebuah bisnis ada tidak hanya untuk menciptakan uang, tetapi juga untuk melakukan perubahan sosial yang semakin dimudahkan dengan adanya teknologi dan media sosial. Siapkah kamu membangun bisnis seperti Rappler?


Artikel ini merupakan bagian dari liputan Tech Asia Jakarta 2015 yang berlangsung pada tanggal 11 dan 12 November. Ikuti seluruh liputannya di sini.

(Diedit oleh Lina Noviandari; sumber gambar: Ryomaandres)

The post CEO Rappler: Bagaimana Teknologi Bisa Membentuk Masa Depan Media appeared first on Tech in Asia Indonesia.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

Latest Images

Trending Articles



Latest Images