Keunggulan menjadi orang yang pertama sebenarnya tidaklah sebagus yang orang sering katakan. Bill Gates adalah salah satu orang yang bisa melihat ke depan dengan mengembangkan teknologi cloud, Internet of Things (IoT), dan smartwatch sejak awal tahun 2000an. Tapi kesuksesan inovasi-inovasi tersebut bukanlah berasal dari sentuhan Bill Gates.
Pada kenyataannya, Google masih mendominasi dalam teknologi cloud ,internet of things (IoT) masih terbilang sangat baru, dan Apple masih memimpin untuk teknologiwearable. Di dunia teknologi yang bergerak dengan cepat, pihak yang unggul hari ini bisa saja terlupakan dengan tidak kalah cepatnya. Dengan kata lain, startup seharusnya berusaha menjadi orang yang terakhir, bukan orang yang pertama.
Berikut adalah tiga startup yang awalnya mendominasi di pasarnya, tapi kemudian langsung tertinggal dengan cepat.
Mt. Gox
Dahulu, Mt. Gox asal Tokyo pernah menjadi penguasa di ranah Bitcoin. Jasa online yang mengkonversi mata uang resmi menjadi Bitcoin ini menguasai 80 persen pangsa pasar di tahun 2013 dan melakukan pertukaran sampai sebesar USD 25 juta per harinya, dan itu terjadi sebelum tren Bitcoin mulai meledak.
Mengapa startup ini gagal? Tidak adanya kompetensi.
Di bulan Februari 2014, sekelompok hacker mencuri $460 juta (sekitar Rp 6 triliun) dari startup ini. Dalam semalam saja Mt. Gox langsung bangkrut. Tapi, menurut artikel dari Wired, kehancuran perusahaan ini memang pasti akan datang.
Perusahaan ini dikelola dengan sangat buruk. Bos Mt. Gox, Mark Karpeles, adalah seorang engineer yang tidak merasa nyaman dengan posisinya sebagai CEO. Dia adalah seorang yang tidak kompeten dan apatis. Para hacker memanfaatkan kelemahan Bitcoin yang disebut “transaction malleability” atau sederhananya adalah transaksi yang rapuh. Tapi Mt. Gox sebenarnya bisa mencegahnya menggunakan software mereka sendiri jika memang ingin dan peduli. Sayangnya, mereka tidak begitu peduli.
Mt. Gox menghabiskan uang untuk membeli sejumlah TV layar datar yang mahal, $400 (sekitar Rp 5,3 juta) untuk makan siang, dan $1 juta (sekitar Rp 13 miliar) untuk kafe. Mereka tidak menggunakan sistem pengelolaan berbasis aplikasi, dan tidak melakukan uji coba produknya jika terjadi situasi tertentu sebelum akhirnya terlambat. Pada akhirnya, kode yang tidak sempurna membuat sistemnya rapuh tanpa disadari oleh tim pemrogramnya sendiri. Mt. Gox bahkan menentang regulasi pemerintah Amerika Serikat, dan membuat agensi negara federal negara tersebut memberi denda sebesar $5 juta (sekitar Rp 66 miliar) pada perusahaan tersebut.
Kondisi ini berujung pada bencana, bukan hanya bagi perusahaan, tapi juga untuk dunia Bitcoin. Nilai Bitcoin langsung jatuh ketika berita mengenai Mt. Gox ini muncul, dan menumbuhkan kesan bahwa industri Bitcoin ternyata dijalankan oleh orang-orang yang mencurigakan dan tidak bisa dipercaya. Tapi di sisi lain, kejadian ini menandai akhir dari sebuah fase untuk Bitcoin, dari cara untuk menjadi kaya, berubah ke era yang diharapkan bisa melahirkan inovasi yang sebenarnya.
Friendster
Ada yang masih ingat masa-masa ketika menuliskan testimonial di Wall Friendster adalah hal yang ngetren?
Di masa suksesnya, Friendster memiliki 115 juta pengguna terdaftar dan mendapat penawaran akuisisi yang cukup tinggi dari Google, yaitu senilai USD 30 juta (sekitar Rp 400 miliar). Perusahaan ini juga punya banyak investor, antara lain KPCB dan Co-Founder LinkedIn Reid Hoffman.
Mengapa startup ini gagal? Masalah teknis.
Founder Friendster, Jonathan Abrams, tahu persis ke mana dia ingin membawa situs ini. Dalam sebuah wawancara dengan Mashable, dia tahu bahwa Facebook akan mengancam dominasi Friendster. Karenanya, ia berencana untuk membuat news feed, grafik sosial, dan sebuah aplikasi untuk melengkapi jejaring sosial ini. Ia ingin menarik perhatian pengguna di tingkat universitas untuk menghadang kepopuleran Facebook di kalangan anak muda.
Namun tantangan teknologi memperlambat langkah perusahaan ini. Mashable menulis bahwa “Investor tidak berfokus pada mengembangkan Friendster ke arah yang benar, apalagi menanggapi ancaman yang dibuat oleh nama baru seperti Facebook.” Situsnya menjadi sangat buruk hingga pengguna kesulitan untuk masuk ke dalam situs ini selama dua tahun dan memiliki waktu loading yang sangat lama. Mereka gagal membangun infrastruktur yang bisa mengimbangi jumlah pengguna dan traffic yang mereka miliki, serta memberikan peluang bagi kompetitor seperti MySpace dan Facebook untuk mengejar.
Di sisi lain, Facebook mengusung prinsip “bergerak dengan cepat dan mencoba berbagai hal”. Prinsip ini diusung sesuai dengan rencana perusahaannya: media sosial bisa sukses karena efek jaringan, yang berarti semakin banyak pengguna yang diperoleh dalam waktu sesingkat mungkin, semakin bagus peluang untuk menjadi dominan. Infrastruktur yang solid memungkinkan Facebook untuk mengembangkan fitur-fiturnya dan mendapatkan pengguna baru. Intinya adalah lebih mementingkan jumlah pengguna ketimbang mengkhawatirkan beban pada server.
Sebelum akhirnya mati beberapa hari lalu, Friendster memang masih sempat hidup, tapi tidak dalam bentuk yang dulu sempat terkenal. Situs ini diakuisisi oleh layanan pembayaran online asal Malaysia, MOL, di tahun 2009 dengan nilai yang menurut rumor adalah $100 juta (sekitar Rp1,3 triliun).
Situs ini kemudian berubah menjadi satu dari banyak situs portal game di internet.
Eachnet
Anda mungkin tidak begitu kenal dengan nama ini. Eachnet adalah salah satu situs lelang terkemuka di China dengan pangsa pasar 90 persen serta diakuisisi oleh eBay dengan nilai $150 juta (sekitar Rp2 triliun) di tahun 2003. Akuisisi tersebut memulai persaingan antara perusahaan Amerika Serikat tersebut dengan Alibaba.
Mengapa startup ini gagal? Lokalisasi tidak berhasil.
Kisah sukses Eachnet sebenarnya tidak istimewa, terutama jika dilihat dari latar belakang foundernya. Menurut buku Alibaba’s World, perusahaan ini sudah memiliki pangsa pasar yang dominan di China untuk pasar lelang online sebelum eBay berinvestasi ke perusahaan ini di tahun 2002.
Sementara itu, Alibaba sukses dengan bisnis B2B-nya dan kemudian mengembangkan Taobao secara diam-diam untuk menghentikan ekspansi eBay di China. Ketika tiba saatnya mengungkap Taobao, Alibaba menggembar-gemborkan berita ini ke media untuk menantang Eachnet milik eBay.
Dalam perang media, Taobao fokus pada pembeda utama kedua layanan ini: Taobao bisa digunakan secara gratis, sementara eBay menarik biaya komisi dan listing produk pada penjualnya. Founder Alibaba, Jack Ma, membuat taruhan bahwa eBay tidak bisa mengimbangi langkah ini karena tekanan dari pemegang saham di Amerika. Tapi, ini bukan sekedar trik pemasaran: masyarakat China sulit percaya dengan layanan online begitu saja, dan mereka lebih suka untuk mencoba dulu sebelum mau membayar, dan Taobao fokus pada perilaku itu.
Taobao juga membedakan diri dari eBay dengan tidak menggunakan model lelang. Memang, konsumen Amerika memiliki banyak barang koleksi yang siap dijual secara online, tapi hal yang sama tidak berlaku di China. Setelah mengalami kemiskinan dan masa sulit selama bertahun-tahun, masyarakat berubah menjadi konsumen dan ingin menaikkan kelas sosialnya. Karena itu, Taobao fokus pada menawarkan sangat banyak barang kepada pembelinya.
Satu lagi perbedaan besar pada Taobao adalah kemampuan yang lebih baik dalam memahami pasar lokal. Di China, orang-orang terbiasa membangun hubungan baik terlebih dahulu sebelum mulai melakukan bisnis. Pendekatan eBay merupakan kebalikan dari itu, dengan alasan membuka jalan pada konsumen untuk berbincang satu sama lain akan mempersulit perolehan komisi. Karena gratis, Taobao mendorong komunikasi antar konsumen dengan membuat fitur Live Chat di dalam situsnya.
Pengetahuan Taobao mengenai pasar dan budaya China juga mempengaruhi caranya dalam menentukan sistem pembayaran. eBay bergantung pada PayPal dan memungkinkan transaksi langsung antara pembeli dan penjual. Ini sulit diusung di China yang konsumennya tidak percaya satu sama lain. Sementara itu, sistem pembayaran Alibaba, yaitu Alipay, beroperasi dengan model rekening bersama, penjual tidak akan menerima pembayaran sampai pembeli mengkonfirmasi bahwa produk pesanannya telah sampai dalam kondisi yang baik.
Eachnet juga membuat beberapa kesalahan strategis dengan mematikan pengembangan situs lokalnya untuk fokus ke situs global dengan keyakinan bahwa perilaku dan selera konsumen China akan sama dengan konsumen di negara berkembang. Situsnya menghapus animasi dan icon-icon lucu yang sebenarnya lebih disukai oleh konsumen China ketimbang desain yang minimalis. Perusahaan ini memprioritaskan pengguna internasional dan memaksa pengguna di China untuk membuat akun baru, yang membuat mereka kehilangan pemasukan.
Terakhir, dengan memindahkan hosting situsnya ke luar China, Eachnet menjadi sangat lambat ketika diakses oleh pengguna China. Sama dengan masalah Friendster, situs yang lambat membuat pengguna frustasi dan membuat mereka pindah ke kompetitor dengan layanan yang lebih baik.“eBay mungkin boleh jadi hiu di lautan luas, tapi saya adalah buaya di sungai Yangtze,” kata Jack Ma di Forbes. “Jika kami bertarung di lautan, kami akan kalah, namun kami adalah “raja” di sungai.”
(Diterjemahkan oleh Yasser Paragian dan diedit oleh Pradipta Nugrahanto; sumber gambar TechJuice)
The post 3 Startup Keren yang Gagal: Mengapa Menjadi yang Pertama Tidak Selalu Menjamin Kesuksesan appeared first on Tech in Asia Indonesia.