Saat Tech in Asia berkunjung ke kantor “baru” Lazada Indonesia di kawasan Kuningan, Magnus Ekbom tengah duduk di salah satu sudut ruangannya. Tidak seperti kebanyakan kantor besar lainnya, tidak ada ruang tunggu atau furnitur mewah, dan nyaris tidak ada kesan eksklusif dari sosok seorang Magnus saat berada di kantor. Ia melirik dari balik layar komputer dan mulai mengajak berkeliling kantor.
Untuk Anda yang mungkin selama ini ketinggalan informasi, Lazada Group adalah salah satu e-commerce yang bergerak di ranah marketplace business to consumer (B2C). Situsnya sendiri awalnya diluncurkan, diinkubasi, dan mendapat pendanaan dari Rocket Internet. Meski begitu, Magnus menilai bila Rocket kini memiliki peran yang minim di perusahaan ini, dan bukan pemegang saham yang berkuasa.
“Saya ingin menegaskan bila Rocket bukanlah faktor utama,” kata Magnus. “Banyak orang berpikir bila Rocket, Lazada, dan Zalora adalah satu perusahaan besar, yang sayangnya keliru. Rocket adalah inkubator kami dan aktif di tahun pertama kami. Mereka membantu penggalangan dan, mengimplementasikan platform teknologi yang sesuai, merekrut SDM berbakat, dan melakukan benchmark seberapa berhasil kami. Namun saat ini, sudah ada dua investor lain yang sekelas dengan Rocket.”
Magnus telah menjadi CEO Lazada Indonesia sejak 2012. Saat ini ia menjabat sebagai Chief Strategy Officer untuk Asia Tenggara, ia juga menyebutkan bila Elizabeth Craft dan Alexandre Dardy adalah suksesornya. Nantinya, kedua orang ini akan menjadi Co-CEO.
Hal ini mengindikasikan bila Indonesia masih menjadi pasar yang penting bagi Lazada. Magnus sendiri mengakui bila dirinya masih akan menghabiskan sebagian besar waktunya di Jakarta. Lebih lanjut ia menuturkan bila segala sesuatu di Lazada Indonesia akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. “Tim yang ada kini lebih kuat, dan kehadiran orang-orang baru rasanya akan selalu menyenangkan,” ujarnya.
Tetap bertahan di tengah terpaan
Sejak beberapa bulan terakhir, ranah e-commerce di Indonesia menjadi sorotan media. Salah satu momen pentingnya adalah ketika Lippo Group mengumumkan pendanaan $500 juta (sekitar Rp6,6 triliun) untuk MatahariMall. Hal ini dilakukan sebagai salah satu langkah untuk membuat MatahariMall menjadi situs e-commerce terbesar di tanah air, atau seperti yang dikatakan Lippo, “Alibaba-nya” Indonesia.
Tech in Asia menemukan fakta baru bila Bank of America Merril Lynch dan Credit Suisse juga masih melakukan penggalangan dana $200 juta (sekitar Rp2,56 triliun) sebagai bagian dari pendanaan dari Lippo. Hal ini menarik karena perusahaan ini sebenarnya tidak serta-merta memberikan $500 juta (sekitar Rp6,6 triliun) seperti yang disebutkan sebelumnya, meski untuk perusahaan sekelas Lippo, mendapatkan uang sebesar itu bukanlah hal yang mustahil. Namun apakah benar dana tersebut diperuntukkan bagi MatahariMall sepenuhnya atau tidak, masih menjadi tanda tanya. Di luar itu, situs yang rencananya akan launching pada Maret atau April ini masih ditunda peluncurannya.
Magnus mengatakan bila Lippo Group merupakan salah satu pemain di ranah bisnis ritel yang tertua dan paling eksis di tanah air, dan tentunya Lazada Group enggan memandang sebelah mata. Meski sekilas memuji perusahaan tersebut, Magnus mengatakan:
Mereka tidak perlu mengatakan seberapa banyak uang mereka. Bila seseorang memberi saya $500 juta, jujur saja saya masih belum tahu akan melakukan apa. Selain itu saya juga tidak memiliki alasan kuat untuk memberikan uang sedemikian besar untuk pemain e-commerce baru di Indonesia. […] Bila ada di posisi Lippo, saya akan memilih “mengintip” pasar dan memberi kejutan pada semua orang. Bila John Riady melakukan itu, MatahariMall mungkin akan lolos dari “pantauan” kami. […] Namun dengan apa yang telah mereka lakukan di beberapa bulan terakhir, itu seolah memberikan kami lebih banyak waktu untuk berbenah. Mereka sudah kehilangan momen untuk membuat kejutan.
Magnus tidak menampik bila Lippo juga beberapa kali melakukan pendekatan dengan karyawan Lazada, untuk mengajak mereka bergabung dengan MatahariMall. Tak mengherankan bila James Riady mengklaim MatahariMall memiliki SDM yang lebih baik ketimbang Lazada. “Itu kekanak-kanakan, kami tidak melakukan hal serupa. [..],” jelas Magnus lagi. Sebagai perbandingan, Magnus mengklaim sejak pertama kali diluncurkan di Indonesia, hanya diperlukan waktu delapan minggu bagi Lazada untuk meluncurkan situsnya di Jakarta.
Traksi dan logistik
Magnus menambahkan bila Lazada Group tidak bisa memberikan traksi untuk tiap-tiap pasar, namun telah menggabungkan data dari pasar seluruh Asia Tenggara. Berdasarkan laporan terbaru Rocket Internet, Lazada Group berhasil mendapatkan pemasukan kotor $1 miliar (Rp13,3 triliun) sampai dengan bulan Maret. Selain itu, mereka juga mendapatkan 5 juta pelanggan tahun lalu dan lima juta kunjungan harian. Perusahaan ini memiliki 1,6 juta SKU, 15.000 penjual aktif, 51 partner logistik. Basis pengguna Lazada kini meningkat dari 3,9 juta di akhir 2014, menjadi 5,3 juta di penghujung kuartal pertama Q1 2015.
Magnus mengklaim bila perusahaan ini nantinya akan mendirikan Lazada Express, layanan pengiriman milik mereka sendiri, setelah gudang dan pemenuhan permintaan, sebagian besar sudah dilakukan mereka sendiri. Meski begitu, Magnus mengklaim bila 75 persen bisnis Lazada berasal dari marketplace mereka, yang berarti masing-masing brand mengirimkan produk secara langsung kepada konsumen. Mengenai sistem pembayaran, Lazada masih mencari sistem pembayaran yang cocok, dan memang menjadi masalah bagi pasar yang baru di Asia Tenggara. Sejak Rocket Internet berhasil IPO di akhir tahun lalu, Lazada Group telah mendapatkan tambahan pendanaan senilai $219 juta (Rp2,9 triliun).
Melihat peluang di ranah O2O
Salah satu yang dipercaya masih menjadi formula yang cocok di ranah e-commerce tanah air adalah layanan Online-to-Offline (O2O). Sederhananya, ini merupakan layanan bagi pembeli untuk membeli barang secara online, lalu setelahnya datang ke pusat perbelanjaan dan mengambil sendiri barangnya. Beberapa perusahaan seperti Trikomsel dan MatahariMall berencana menggunakan strategi ini, sebagai strategi pembeda dari kompetitor. Magnus percaya bila strategi O2O Lazada saling memperkuat satu dan lainnya, dalam artian bila pembeli kerap melihat beragam item dari merek kesukaan mereka di situs, mereka akan merasa lebih senang lagi ketika berbelanja langsung.
“Bagi vendor rekanan kami, bisa terekspos di platform kami adalah hal yang penting,” jelas Magnus. “Ketika orang melihat sebuah produk di halaman depan Lazada, mereka akan terdorong untuk mengunjungi toko fisik dan kembali melihat-lihat. […] e-commerce dan internet lebih dari sekadar transaksi, namun semuanya mengarah pada engagement. Kami memberikan layanan tambahan dengan memberikan mereka akses bagi jutaan pasang mata,” lanjutnya.
Menurut Magnus, ada beberapa faktor utama yang membuat Lazada Group menjadi kuat. Faktor pertama adalah memiliki elemen pragmatis dan kesabaran dalam menyelami pasar Indonesia. Selain itu, siap untuk menghadapi mereka yang masih kolot. Ia menuturkan:
Kami akan melakukan apa pun untuk mencapai tujuan […]. Bila Anda ingin menang, maka jadilah yang lebih baik dari kami. Kultur kami adalah ingin mengalahkan siapa saja yang mencoba bersaing dengan kami. […] Saya tidak pernah takut akan hal itu, dan ingin membuktikan bila kami tidak bisa dengan mudah “dikalahkan”.
(Diterjemahkan oleh Pradipta Nugrahanto dan diedit oleh Lina Noviandari)
The post Magnus Ekbom dari Lazada Bicara Mengenai E-Commerce dan Strategi Menaklukkan Kompetitor di Indonesia appeared first on Tech in Asia Indonesia.