Apakah kamu masih ingat dengan The Last Tinker: City of Colors? Beberapa bulan lalu saya sempat menulis preview untuk game yang penuh dengan nuansa nostalgia ini. Dua bulan setelah mencoba versi preview dari game ini, akhirnya The Last Tinker siap untuk dirilis.
Bagi kamu yang belum pernah mendengar tentang The Last Tinker, game ini adalah sebuah game adventure platformer 3D yang dirilis untuk Windows PC, Mac, Linux, dan PS4. Seperti yang saya sebutkan di preview saya, game ini merupakan game penuh nuansa nostalgia yang bisa mengingatkan kamu dengan berbagai 3D platformer seperti Mario 64 ataupun seri Spyro di PS1. Selain beberapa elemen nostalgia, game ini juga memiliki kelebihan serta kekurangannya sendiri. Langsung saja cek review di bawah ini untuk detail lebih lanjut tentang The Last Tinker.
Petualangan Yang Penuh Warna
Salah satu hal yang paling kelihatan saat pertama kali melihat The Last Tinker tentunya adalah art direction dari game ini. The Last Tinker memiliki desain yang sangat colorful dan ramai. Berbagai objek dalam game, mulai dari lingkungan, bangunan, sampai karakter-karakter yang ada didesain dengan lucu dan penuh warna. Hal ini jelas membuat The Last Tinker sangat memikat minat anak-anak serta membangkitkan perasaan nostalgia untuk pemain yang lebih tua.
Meskipun didesain dengan warna yang sangat mencolok, game ini tetap cocok untuk dimainkan siapa saja. Seperti yang sempat saya singgung di preview saya beberapa bulan lalu, The Last Tinker memiliki option khusus bagi pemainnya yang buta warna. Saya sendiri tidak terlalu paham dengan cara kerja fitur ini, tapi melihat bagaimana Mimimi Productions sebagai developer ikut menyediakan pilihan ini untuk pemainnya, usaha tersebut jelas patut diacungi jempol.
Selain sebagai eye candy saja, hal paling keren dari art direction penuh warna di The Last Tinker adalah bagaimana gaya gambar ini ikut berpengaruh kepada cerita dan gameplay yang dimiliki game ini. Dalam The Last Tinker: City of Colors, kamu akan disajikan cerita tentang sebuah kota yang dibangun dengan warna-warna yang memiliki karakteristik tersendiri. Warna merah mewakili kekuatan dan amarah, warna hijau mewakili rasa ingin tahu dan ketakutan, serta warna biru yang mewakili keberanian dan kesedihan.
Tiga warna tersebut mewakili distrik-distrik yang ada di Colortown, dengan beberapa distrik khusus merupakan gabungan dari ketiganya. Namun keadaan di Colortown menjadi kacau saat tiba-tiba seluruh kota diserang oleh monster-monster yang menghisap warna dan membuat sebagian dari kota kehilangan warna. Tugasmulah sebagai seorang tinker, orang yang memiliki kemampuan khusus untuk memanfaatkan kekuatan para spirit yang mewakili 3 warna utama, untuk menyelamatkan kota dari bencana ini.
Tidak terbatas pada cerita saja, penggunaan warna yang bervariasi ini bisa kamu temukan juga pada gameplay. Seperti yang saya singgung sedikit di atas, karaktermu adalah seorang tinker yang bisa memanfaatkan kemampuan para spirit yang mewakili 3 warna. Setiap spirit akan memberikan kemampuan baru yang bisa kamu manfaatkan baik untuk bergerak menjelajahi Colortown, ataupun untuk bertarung melawan para monster nihil warna. Kekuatan-kekuatan yang ada pun sesuai dengan karakteristik yang dimiliki masing-masing warna, misalnya warna merah yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan musuh dan warna hijau yang bisa membuat musuh lari ketakutan dan menyebabkan mereka mati tertabrak pohon berduri ataupun jatuh ke sungai.
Setiap kali melanjutkan cerita dan membuka kekuatan baru, saya selalu penasaran dengan kekuatan unik apa yang akan saya dapatkan. Perasaan penasaran ini cukup mirip dengan pengalaman yang saya rasakan saat penasaran dengan kekuatan baru apa yang akan saya dapatkan dalam game seperti Infamous: Second Son. Bahkan game ini juga mengizinkan kamu untuk membeli skill tambahan dari sebuah warna, semakin mengingatkan saya kepada Infamous yang memiliki fitur character building yang sedikit mirip namun dengan tampilan yang berbeda.
Melatih Kesabaran Dari Kecacatan Yang Ada
Dari tadi saya sudah membahas mengenai aspek penuh warna yang positif dari game ini, lalu apakah game ini memiliki sisi yang negatif? Tentu saja iya, tidak ada game yang sempurna, dan The Last Tinker termasuk game yang memiliki ketidak sempurnaan yang sangat besar. Meskipun memiliki gameplay yang menarik, apalagi gameplay yang ada bisa disambungkan dengan grafis dan cerita di game ini, ada dua hal yang sangat membuat saya merasa terganggu saat memainkan The Last Tinker.
Hal pertama adalah dari segi kontrol. Game ini bisa dibilang memiliki desain kontrol yang jelas perlu adaptasi sangat panjang dalam penggunaannya. Sering kali karakter bergerak ke arah yang tidak saya rencanakan sama sekali, terutama saat battle. Lebih parahnya terkadang hal ini membuat karakter saya tidak sengaja menyerang objek yang seharusnya tidak saya hancurkan. Selain itu satu hal yang membuat saya sedikit bingung adalah fakta bahwa game ini tidak memiliki tombol untuk melompat dengan normal layaknya 3D platformer lainnya.
Bagian kedua yang membuat saya sedikit greget sewaktu memainkan The Last Tinker adalah desain level yang dimiliki game ini. Bisa dibilang beberapa desain yang dimiliki beberapa level dalam The Last Tinker dibuat dengan buruk. Seringkali game ini tidak menyajikan petunjuk yang jelas tentang apa yang harus dilakukan.
Desain level yang kurang bagus digabung dengan kontrol yang sering membuat bingung dan salah pencet jelas merupakan hal yang sangat mengurangi kualitas pengalaman saat memainkan game ini. Seringkali saya merasa ingin segera berhenti bermain saat kesabaran saya diuji dengan beberapa kecacatan ini, tapi mengingat game ini memiliki banyak sisi positif lain, saya tetap merasa penasaran untuk melanjutkan game ini sampai selesai.
Hal-hal Kecil Dan Simpel, Namun Sangat Berkesan
Secara garis besar, memang sangat susah untuk menentukan apakah The Last Tinker merupakan game yang berkualitas tinggi atau tidak. Namun ada beberapa hal yang sangat mudah terlewatkan yang bisa membuat pengalaman bermain game ini jauh lebih menyenangkan.
Salah satu hal yang paling kelihatan adalah bagaimana game ini menyampaikan cerita. Semua percakapan dalam The Last Tinker disampaikan dengan menggunakan baloon text yang didesain layaknya sebuah potongan kardus, sesuai dengan cerita game ini yang menyebutkan bahwa segala hal di Colortown dibuat sepenuhnya dengan kertas, karton, lem, dan warna.
Hal minor lainnya yang membuat saya sangat kagum dengan The Last Tinker adalah atensi yang dimiliki game ini kepada berbagai detail. Di atas saya sudah menjelaskan bahwa 3 warna yang ada dalam game ini mewakili karakteristik makhluk-makhluk yang ada. Kerennya adalah, saat kamu memberikan warna merah kepada makhluk berwarna hijau yang penakut, tiba-tiba mereka akan jadi pemarah dalam waktu sekejap. Hal yang sama berlaku juga untu warna hijau dan biru jika diberikan kepada makhluk berwarna lain. Animasi ekspresi yang ditampilkan makhluk-makhluk tersebut juga dibuat dengan sangat bagus dan berkualitas, memberikan perasaan lebih hidup kepada karakter dalam game.
Hal terakhir yang betul-betul membuat game ini menarik untuk dimainkan adalah kualitas writing yang dimiliki. Tidak mengherankan The Last Tinker dapat menyampaikan sifat karakter dengan sangat baik melalui tulisan, mengingat game ini bisa menyampaikan hal tersebut menggunakan ekspresi karakter, jadi menunjukkan karakter lewat tulisan jelas bisa mereka sampaikan dengan bagus juga.
Verdict: Pengalaman Menyenangkan Dengan Beberapa Kecacatan
Jadi apakah The Last Tinker: City of Colors merupakan game yang pantas untuk dicoba? Kalau kamu merupakan penggemar game adventure atau platformer tentunya jangan lewatkan game ini begitu saja. Namun kalau kamu bukan penggemar berat, sebaiknya coba game ini saat ada diskon atau sejenisnya saja.
The Last Tinker: City of Colors bisa kamu dapatkan mulai tanggal 12 Mei untuk Windows PC, Mac, dan Linux. Game ini juga akan tersedia untuk PS4 pada waktu yang belum ditentukan.
Steam: The Last Tinker: City of Colors, US$21,99 (sekitar Rp 250.000)
Post Review The Last Tinker: City of Colors – Melatih Kesabaran Di Dunia Penuh Warna muncul terlebih dahulu di Games in Asia Indonesia.