eMarketer memprediksi bahwa di tahun 2015 ini, total belanja online akan menyentuh angka $1.7 triliun (sekitar Rp23,6 kuadriliun), dan pada tahun 2019 mendatang diperkirakan meningkat hingga mencapai $3,5 trilun (sekitar Rp48,6 kuadriliun).
Dari data yang sama juga didapat fakta memaparkan bahwa faktor utama pertumbuhan global dalam belanja e-commerce didorong oleh meningkatnya permintaan di wilayah Asia Pasifik—yang diprediksi akan naik hingga 25 persen setiap tahunnya. Di penghujung tahun 2020 nanti, pasar jual beli online akan mengantongi pemasukan hingga 12,5 persen dari jumlah keseluruhan penjualan produk ritel di seluruh dunia.
Terlepas dari berbagai prediksi tadi, pertumbuhan di wilayah Asia Pasifik masih tertinggal dari wilayah Barat. Tingkat belanja e-commerce di wilayah ini diperkirakan hanya berjumlah satu persen dari jumlah penjualan produk ritel saat ini. Angka tersebut masih jauh bila dibandingkan Eropa dan Amerika Utara dengan enam hingga delapan persen.
Dipastikan masih ada peluang tumbuhnya perekonomian di kawasan ini, yang sedikit memberi penjelasan mengapa miliaran rupiah mengalir ke pasar yang (relatif) belum terjamah di India, Thailand, Singapura, dan Indonesia.
Seiring dengan makin banyaknya masyarakat yang terhubung secara online, tantangan yang harus dihadapi startup e-commerce adalah terus berinovasi, sekaligus menggali ceruk bisnis yang lebih niche.
Pada akhirnya, jika konsumen puas dan senang terhadap layanan yang mereka dapatkan saat bertransaksi online, konsumen mungkin akan kembali berbelanja di layanan tersebut. Hal itu dapat mendorong pengguna terus menggunakan aplikasi sekaligus menekan biaya yang dibutuhkan dalam mengakuisisi konsumen—salah satu biaya terbesar dalam marketing.
Berikut kami tampilkan secara acak lima startup yang paling “menggigit” terhadap pasar e-commerce di wilayah Asia pada tahun 2015.
1. Craftsvilla
Crafstvilla— e-commerce yang menjual berbagai produk khas India—sudah hampir menginjak usia lima tahun, namun mereka mampu menunjukkan keperkasaannya tahun ini. Pendanaan yang berhasil diraup Craftsvilla berjumlah $54 juta (sekitar Rp750 miliar) yang terbagi ke dalam dua putaran selama jangka waktu delapan bulan. Kemungkinan, dalam waktu dekat ini, mereka akan bersiap untuk melakukan IPO.
Nilai jual startup yang sering kali disebut sebagai “Etsy-nya India” ini terletak pada kemampuan mereka menghubungkan konsumen global dengan perajin dan desainer lokal India. Sebagian besar tidak menjual karyanya di kota-kota besar, yang artinya konsumen tak akan menemukan produk mereka di mal atau toko ritel lain.
Craftsvilla menghadirkan solusi atas masalah ini dengan memperkenalkan karya-karya mereka kepada konsumen global. Ada lebih dari 25.000 desainer dan sekitar dua juta produk yang tersedia.
2. Honestbee
Honestbee, startup yang mengadopsi layanan serupa Instachart, adalah salah satu nama besar di Singapura saat ini. Startup yang menggunakan jasa pelari freelancer untuk membeli serta mengantar produk pesanan langsung ke pelanggannya. Mereka mengutamakan kecepatan layanan sebagai ciri khas, serta sebagai diferensiasi dari kompetitor seperti RedMart dan GoFresh.
Persaingan sengit untuk memperebutkan dominasi di ranah e-commerce ini tak terelakan lagi. Namun, meski terlambat bergabung ke dalam lingkaran persaingan ini, Honestbee menegaskan kalau mereka tak akan menyerah begitu saja. Startup ini berhasil meraih pendanaan $15 juta (sekitar Rp208 miliar) dalam putaran seri A sejak beberapa bulan peluncurannya dan mengumumkan rencana ekspansi ke Hongkong.
Satu hal yang mungkin menjadi keuntungan bagi Honestbee dibanding pesaingnya adalah mereka tak perlu mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk berinvestasi gudang, peralatan, serta logistik. Mereka mengandalkan toko ritel yang sudah ada. Namun, kompetitor unggul dari sisi harga yang lebih murah. Alasannya karena mereka membeli barang dalam jumlah banyak langsung dari sumbernya, tidak melalui perantara toko ritel.
Jaminan Honsetbee mengantarkan barang dalam satu jam berpotensi menjadi game-changer. Redmart sudah menyediakan layanan serupa, namun patut ditunggu siapa yang berhasil menjadi nomor satu.
Baca juga: 6 Startup yang Berpeluang Menaklukkan Asia Tenggara di Tahun 2016
3. Shoppee
Marketplace yang mengusung konsep consumer to consumer (C2C) bukanlah hal yang baru. Contoh startup yang telah lebih dulu mengusung konsep serupa adalah Carousell dan Tokopedia. Ada rumor yang berkembang bahwa Facebook sedang mengamati ranah ini, karena mereka beranggapan bahwa e-commerce menjadi bagian tak terpisahkan dari platform media sosial mereka. Namun, Shopee tak begitu khawatir akan kabar ini.
Meski Startup asal Singapura yang juga merupakan bagian dari Garena ini baru saja diluncurkan, namun mereka telah berhasil memiliki pasar sendiri. Pasalnya, mereka sukses memperkenalkan fitur yang tak dilirik oleh pesaing mereka.
Sebagai contoh, pengguna aplikasi Shopee membayar barang langsung dari aplikasi melalui solusi pembayaran terjamin yang mereka sebut “Garansi Shopee.” Saat transaksi telah dikonfirmasi, Shopee menyimpan uang yang telah dibayarkan, atau disebut dengan istilah escrow, lalu membayarkan uang tersebut kepada penjual saat barang telah sampai ke tangan konsumen.
Kemitraan yang mereka jalin dengan startup spesialisasi pesan antar Ninja Van, mempermudah transaksi di Shopee, dan hal ini membedakan mereka dengan aplikasi marketplace lain yang mengharuskan konsumen mengurus sendiri pengirimannya.
Shopee juga menyematkan elemen jejaring sosial ke dalam aplikasi mereka. Pelanggan dapat saling follow, menggunakan tagar, dan bahkan ada fitur semacam news feed. Strategi mereka tampaknya membuahkan hasil. Menurut App Annie, popularitas Shopee sudah melampaui nama besar seperti Carousell, khususnya untuk pasar Singapura, Taiwan, dan Malaysia.
Baca juga: [REVIEW] Shopee, Marketplace Unik dengan Elemen Media Sosial
4. Ninja Van / aCommerce
Kecepatan dan keandalan logistik merupakan salah satu faktor utama efisiensi e-commerce. Tak ada gunanya mengiklankan secara online, jika kita tak memiliki cara untuk memastikan barang sampai dalam jangka waktu yang telah dijanjikan.
Sebelumnya Tech in Asia pernah mengutarakan bahwa dalam ranah e-commerce logistik, peluang terbuka lebar bagi pemain yang mengedepankan efisiensi. Seperti contohnya startup yang mengatasi hambatan dalam pengiriman dengan menggunakan algoritma penyortiran. Dua startup yang sangat menonjol dalam hal ini adalah Ninja Van asal Singapura dan aCommerce asal Thailand.
aCommerce, dengan kantor dan pusat distribusi di Thailand, Indonesia, serta Filipina, memiliki lebih dari 140 klien bisnis dan angka pertumbuhan 300 persen sejak Januari tahun ini. Startup ini mengumpulkan pendanaan lebih dari $20 juta (sekitar Rp278 miliar) dan sedang memperkuat lini produk offline ke online setelah mendapat investasi dan menjalin kemitraan dengan DKSH, perusahaan terkemuka asal Swiss.
Ninja Van telah membuktikan efektivitas yang sama baiknya. Saingan utama mereka adalah Singpost, namun Ninja Van telah menerapkan teknologi agar mampu melayani dengan lebih gesit dan lincah. Keahlian Ninja Van adalah algoritma untuk menemukan rute tercepat menuju tempat tujuan. Mereka mengirimkan sekitar 5 ribu paket setiap harinya, dan angka itu terus tumbuh 10 hingga 15 persen.
5. Quikr
Dana investasi dalam jumlah yang besar dialirkan pada situs e-commerce tradisional di India, seperti Flipkart dan Snapdeal yang membuat persaingan kian sulit bagi pendatang baru. Namun hal itu tak membuat situs iklan baris seperti Quickr gentar.
Situs iklan baris mungkin tak memiliki pendekatan modern atau daya tarik marketing layaknya e-commerce lain, namun pendekatan mereka terbilang efektif. Quickr, bersaing dengan OLX yang disponsori oleh Naspers, berhasil meraih status startup unicorn tahun ini. Setelah meraih pendanaan $150 juta (sekitar Rp2 triliun) pada putaran seri B, valuasi perusahaannya menjadi $1,5 miliar (sekitar Rp20,5 triliun). Jelas itu jumlah uang yang fantastis.
Namun perusahaan ini tak hanya menunggu datangnya bola. Mereka terus mengeluarkan produk baru, memperkenalkan kategori baru, dan membeli startup lain yang dianggap memiliki nilai tambah bagi mereka. Kini, Quickr mulai gencar merambah bisnis real estate online. Pada awal tahun ini mereka meluncurkan QuickrHomes, dan mengakuisisi Realty Compass, startup yang fokus pada analisis perkembangan real estate.
Realty Compass adalah perusahaan real estate kedua yang mereka beli tahun ini. Sebelumnya, mereka mengakuisisi Indian Realty Exchange, aplikasi aggregator real-estate pertama yang berbasis mobile.
Situs iklan baris raksasa ini jelas punya ambisi besar buat masa depannya. Mereka telah merambah pasar vertikal seperti jasa pernikahan, barang elektronik, dan hewan peliharaan. Namun mereka juga menunjukkan keinginannya untuk ikut bersaing dalam bisnis produk dengan harga jual tinggi.
Situs iklan baris mungkin terbilang jadul, namun kegigihan, keberanian, dan strategi untuk terus berbenah memastikan posisi Quikr pantas berada dalam daftar ini.
(Diterjemahkan oleh Faisal Bosnia dan diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)
The post 5 E-commerce Asia Paling “Menggigit” di Tahun 2015 appeared first on Tech in Asia Indonesia.