Erlan Primansyah dan Elwin Ardririanto mendirikan Buqu dengan misi menjadikannya sebagai platform yang dapat mendorong ekosistem penerbit, toko buku, dan perpustakaan digital. Untuk mencapai tujuan itu, keduanya mengintegrasikan platform ini dengan tiga produk utama.
Produk pertama adalah aplikasi Buqustore, tempat bagi para penerbit-penerbit buku lokal untuk mendistribusikan buku mereka secara online. Buqustore menggunakan sistem deposit untuk pembelian buku-buku digital yang, menurut saya, tidak efektif. Akan lebih baik jika Buqu menggunakan sistem transfer ATM untuk pembelian buku.
Lalu ada Buqulib, aplikasi perpustakaan digital yang memungkinkan para pengguna untuk menyewa buku digital. Buqulib menggunakan token sebagai sistem pembayaran sewa. Satu token seharga Rp3.000 bisa dibeli di Indomaret dan Alfamart atau melalui transfer ATM.
Setiap buku rata-rata memerlukan lebih dari satu token untuk bisa dinikmati selama seminggu penuh. Apabila sebuah buku memerlukan lima token, berarti total biaya yang harus dibayar adalah Rp15.000.
Menurut saya, sama seperti cara pembelian buku di Buqustore, sistem ini tidak efektif. Harga sewa juga cenderung mahal, mendekati harga asli buku. Akan lebih baik jika Buqulib menerapkan sistem berlangganan sekali bayar seperti apa yang diterapkan oleh Scoop.
Produk ketiga adalah Mega, layanan yang menyediakan aplikasi baca buku digital secara white label. Artinya perusahaan atau institusi yang ingin membuat aplikasi baca buku digital bisa menggunakan layanan tersebut. Beberapa institusi pendidikan yang telah menggunakan Mega ITB, UI, UNAIR, IPB, dan masih banyak lagi.
Selamatkan hutan dengan buku digital
Kendala yang dihadapi oleh Buqu, yang telah memiliki sekitar 10.000 buku komersial dan 3.000 non-komersial dengan 150.000 pengguna aktif, adalah mengkonversi orang-orang yang telah terbiasa membaca buku cetak untuk beralih ke buku digital.
Solusi pertama yang dilakukan Buqu adalah mengkampanyekan manfaat buku digital, salah satunya sebagai upaya menyelamatkan hutan. Kedua adalah bekerja sama dengan mitra-mitra di industri buku untuk meningkatkan kesadaran terhadap buku digital.
Disinggung mengenai model bisnis, startup yang dibentuk pada tanggal 2 Mei 2013 ini mengatakan kalau mereka melakukan monetisasi dengan cara menjual dan menyewakan buku. Buqu juga memiliki skema bisnis lain sebagai sumber pendapatan.
Misalnya skema bisnis referral code. Mitra yang telah bekerja sama dengan Buqu bisa membuat kode-kode promo khusus. Nantinya Buqu akan melakukan bagi hasil dengan mitra tersebut dari setiap kode yang berhasil digunakan oleh pengguna.
Rencana ke depan Buqu adalah bekerja sama dengan lebih banyak penerbit, sehingga koleksi buku yang tersedia lebih luas, sambil melakukan inovasi-inovasi teknologi lain pada platform Buqu.
(Diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah; Sumber gambar María T Pon dan Andreas Wienemann)
The post Buqu, Ingin Menjadi Platform dan Ekosistem Buku Digital untuk Indonesia appeared first on Tech in Asia Indonesia.