Quantcast
Channel: Tech in Asia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

10 Konglomerat Indonesia yang Berinvestasi di Startup Teknologi

$
0
0

Beberapa minggu terakhir, Tech in Asia menyatakan bahwa landskap bisnis di Asia Tenggara akan segera diambil alih oleh para generasi millenial. Di Indonesia, ini berarti generasi kedua dan ketiga keluarga konglomerat nasional akan memiliki kewenangan lebih dalam pengambilan keputusan.

Generasi muda nan ambisius ini diyakini akan mencari celah investasi yang baru. Generasi millennial super kaya ini memiliki warisan yang harus dijaga, namun mereka juga mungkin akan merambah area bisnis baru dan berjaya di sana. Menurut hemat kami, ranah baru ini tak diragukan lagi adalah bidang teknologi.

Investasi di bidang teknologi adalah hal yang menarik bagi generasi millennial. Alasannya, teknologi telah menjadi bagian dari keseharian mereka, sehingga mereka jauh lebih mengerti potensi ekonomi digital di Asia Tenggara ketimbang orang tuanya. Kedua, modal awal untuk terjun di teknologi baru tak begitu berisiko. Namun, jika sukses, ini dapat mendatangkan keuntungan besar.

Perusahaan milik keluarga di Indonesia yang sukses dengan perkebunan kelapa sawit, misalnya, kemungkinan tidak tertarik mengucurkan investasi $100.000 (sekitar Rp1,3 miliar) pada e-commerce baru. Mereka akan lebih memilih menanam modal ratusan juta dolar untuk membuka lahan baru di Kalimantan.

Hal yang terpenting bagi mereka adalah memangkas biaya operasional, kecuali bahan baku dan tenaga kerja. Sama halnya dengan raja real-estate yang beranggapan menggelontorkan dana $300.000 (sekitar Rp4,1 miliar) untuk sebuah aplikasi kencan lebih berisiko dari pada membangun pusat perbelanjaan baru di Jakarta Barat—yang biayanya bisa sampai triliunan rupiah.

Kenyataannya, telah terjadi transisi. Konglomerat bisnis di Indonesia sadar bahwa mereka harus menjadi bagian dari perkembangan teknologi ini, jika tak mau tergerus perubahan zaman sepanjang 10 tahun ke depan.

Berikut, secara acak, 10 konglomerat di Indonesia yang telah memulai investasi di startup teknologi nasional. Meskipun tak semuanya diambil alih oleh para generasi millennial, bisa jadi perusahaan-perusahaan ini mendapat masukan dari mereka.


1. Lippo Group

Para pimpinan Venturra Capital John Riady (kiri), Rudy Ramawy (tengah), dan Stefan Jung (kanan)

Para pimpinan Venturra Capital John Riady (kiri), Rudy Ramawy (tengah), dan Stefan Jung (kanan)

Sejak beberapa tahun silam, Lippo Grup adalah perusahaan yang terlihat paling intens merambah lanskap teknologi dan e-commerce nasional. Secara historis, perusahaan ini dikenal sebagai salah satu pengembang real-estate terbesar di Asia Tenggara. Mereka juga memiliki aset dalam jumlah besar di Tanah Air, seperti Siloam Hospitals, departmentstore Matahari, dan masih banyak lagi.

Beberapa bulan terakhir ini, Lippo berinvestasi dengan meluncurkan MatahariMall, perusahaan e-commerce yang berharap mengambil alih tampuk kekuasaan Lazada sebagai e-commerce nomor satu di Indonesia. Lippo Group juga telah melakukan beberapa investasi di bidang teknologi, namun yang paling menyita perhatian hingga saat ini adalah sokongan dana di Venturra Capital sebesar $150 juta (sekitar Rp2 triliun) untuk startup di Indonesia dan Asia Tenggara.

Baca juga: Inilah strategi MatahariMall untuk mengalahkan Rocket Internet di Indonesia

2. Sinar Mas

Ardent-capital-1-720x288

Ardent Capital

Sinar Mas termasuk ke dalam jajaran konglomerat paling berpengaruh di Indonesia. Perusahaan ini didirikan oleh pebisnis sukses Indonesia keturunan Tionghoa, Eka Tjipta Widjaja, yang menjalankan bisnis di berbagai sektor seperti pulp dan kertas, real-estate, layanan keuangan, agrobisnis, telekomunikasi, serta pertambangan.

Baru-baru ini mereka mendirikan venture capital sendiri bernama Sinar Mas Digital Ventures(SMVD). Perusahaan itu telah berinvestasi di beberapa startup semacam aCommerce, Female Daily, Network, GiftCard Indonesia, Cantik, serta HappyFresh. Di luar SMDV, Sinar Mas juga tergolong sebagai investor langganan bagi Ardent Capital, salah satu e-commerce paling agresif di Indonesia dan Asia Tenggara.

3. Emtek

Emtek

Emtek

Didirikan tahun 1983 dengan nama PT. Elang Mahkota Teknologi, Emtek berawal sebagai perusahaan yang menyediakan layanan PC. Mereka telah berkembang menjadi grup perusahaan yang modern dan terintegrasi dengan tiga sektor bisnis utama: media, telekomunikasi dan solusi kebutuhan IT, serta konektivitas. Kini Emtek dikenal sebagai salah satu grup media terbesar di Indonesia.

Sebagian besar aktivitas yang berhubungan dengan teknologi startup dilakukan oleh Emtek lewat anak perusahaannya, KMKLabs. Namun, di luar itu, mereka juga berinvestasi di beberapa startup lokal, yaitu situs e-commerce Bobobobo, marketplace Bukalapak, toko online khusus busana muslim HijUp, serta pemain e-commerce yang membawa transaksi online ke offline Kudo.

4. Salim Group

Salim Group

Salim Group

Salim Group adalah salah satu raksasa dari Indonesia. Aset yang dimilikinya termasuk Indofood, produsen mi instan terbesar di dunia, dan Bogasari, perusahaan penggilingan tepung terigu. Selama beberapa dekade terakhir, Salim Group juga terlibat dalam pengembangan properti dan industri hiburan. Bisnisnya juga termasuk hotel dan pengembangan resor, lapangan golf, dan real-estate komersial.

Salim Group tak begitu gencar dalam ranah investasi teknologi di Asia Tenggara. Namun, perusahaan milik generasi kedua mereka, Anthony Salim, yaitu Philippine Long Distance Telephone Company, menginvestasikan $455 juta (sekitar Rp6,2 triliun) untuk 10 persen saham perusahaan teknologi asal Jerman, Rocket Internet.

Salim Group bisa dikatakan merupakan perusahaan pertama yang berkecimpung di dunia e-commerce sejak tahun 1997 silam. Walaupun mereka gagal mengambil alih aset yang pernah mereka jual, namun mereka menyatakan akan kembali mencoba mendirikan raksasa e-commerce.

5. Djarum

Martin Hartono

Martin Hartono


Djarum merupakan perusahaan rokok dengan nilai yang telah berdiri sejak awal tahun 1950. Pada tahun 1970 Djarum menjadi salah satu penyedia rokok kretek terbesar di dunia. Pemiliknya yang bernama Budi dan Bambang Hartono memutuskan untuk melakukan diversifikasi terhadap bisnis mereka.

Setelah krisis finansial yang melanda Asia pada tahun 1998, Djarum menjadi bagian konsorsium (termasuk Lippo Group) yang membeli Bank Central Asia (BCA). Djarum menguasai 51 persen saham BCA. Keluarga Hartono terus-menerus menempati posisi teratas keluarga terkaya di Indonesia, dengan total kekayaan mencapai $16,5 miliar (sekitar Rp221 triliun).

Putra Budi yang bernama Martin Hartono berinvestasi di bidang teknologi sejak beberapa tahun lalu saat ia mendirikan Global Digital Prima (GDP) Venture, di bawah bendera Djarum. Dua investasi yang paling terkenal milik GDP Venture ialah komunitas online Kaskus dan situs jual beli online Blibli.

Merah Putih inkubator teknologi dan digital pertama di Indonesia, yang menanamkan investasinya di Infokost.id, Bolalob, Mindtalk, DailySocial, Kincir, serta Opini, juga berada di bawah naungan GDP Venture.

6. Kompas Gramedia Group

edi-taslim-kompas-680x480

Edi Taslim yang menjabat sebagai digital group directordi Kompas Gramedia

Kompas Gramedia (KG) merupakan konglomerat media terbesar di Indonesia. Awalnya mereka menerbitkan surat kabar dengan oplah 4.800 eksemplar di Jakarta Pusat. Sejak saat itu, mereka mengembangkan sayap bisnisnya ke radio, majalah, televisi, toko buku, perhotelan dan pariwisata, serta media online.

KGG menjalankan inkubator teknologi Skystar Ventures Universitas Multimedia Nusantara, Indonesia. Mereka juga mendanai Skystar Capital. Sebelumnya KGG juga berinvestasi di Apps Foundry, induk perusahaan dari Scoop Newsstand.

7. Ciputra Group

Junita Ciputra, direktur utama Ciputra Group Indonesia

Junita Ciputra, direktur utama Ciputra Group Indonesia

Ciputra Group telah mendirikan 11 sektor bisnis di Indonesia, termasuk real-estate dan pengembang properti. Mereka mengembangkan beberapa proyek seperti pusat perbelanjaan, hotel, apartemen, pusat layanan kesehatan, lahan pertanian, fasilitas telekomunikasi, dan masih banyak lagi. Ciputra Group merupakan salah satu perusahaan dengan diversifikasi properti paling besar di Indonesia khususnya dalam jumlah produksi, lokasi, dan segmen pasar.

Meski Ciputra belum terang-terangan berinvestasi secara langsung ke dalam startup teknologi, namun mereka mendirikan inkubator Ciputra, GEPI yang berlokasi di jantung kota Jakarta. Misi mereka adalah memberikan wadah pelatihan untuk mengembangkan startup tahap awal.

GEPI juga memiliki co-working space dan secara berkala menjadi tuan rumah dalam acara-acara komunitas. Mereka juga mengklaim memberikan manfaat-manfaat inkubasi seperti mentoring dan akses ke pendanaan. Mayoritas startup yang ada di bawah naungan GEPI berfokus pada teknologi.

Baca juga: Pemimpin Ciputra Group, Junita Ciputra, Ingin Membantu Ciptakan 4 Juta Entrepreneur Baru

8. MedcoEnergi

Fasilitas Medco Energy

Fasilitas Medco Energy

MedcoEnergi merupakan perusahaan publik yang terdaftar sebagai perusahaan gas dan minyak bumi. MedcoEnergy didirikan pada tahun 1980 oleh Arifin Panigoro. Cakupan bisnis mereka di antaranya adalah eksplorasi dan produksi gas dan minyak bumi, pengeboran, pembangkit tenaga listrik, pipa gas, serta pertambangan batu bara.

Pada tahun 2013, MedcoEnergi mendanai Grupara VC perusahaan venture yang dipimpin pebisnis lokal Aryo Ariotedjo. Perusahaan juga pernah menanamkan modal kepada startup teknologi yang tak lagi beroperasi seperti Lolabox, dan situs busana pria Maskoolin, yang baru-baru ini mendapat tambahan pendanaan.

Ariotedjo mengakui kalau dalam beberapa tahun ini Grupara tidak begitu agresif, namun ada sumber yang mengatakan kalau kita akan menyaksikan aktivitas terbaru mereka dalam waktu dekat.

9. MNC Group

Menara MNC

Menara MNC

MNC Investama (MNC Group) didirikan di Surabaya pada tahun 1989 oleh Hary Tanoesoedibjo yang kini menjadi miliarder. Perusahaan ini awalnya hanya berfokus pada pasar modal. Sejak saat itu MNC telah melakukan diversifikasi bisnis. Saat ini mereka dikenal karena berkecimpung dalam berbagai sektor seperti media, transportasi, serta investasi.

Pada tahun 2013. MNC membangun joint venture dengan Tencent, perusahaan teknologi asal China, bernama MNC Tencent. Tujuannya untuk memuluskan langkahnya dalam pasar online di Indonesia.

Meskipun gaung joint venture itu tak lagi terdengar, dan WeChat, aplikasi chatting milik Tencent, tak mendapatkan traksi di Indonesia, ada sumber yang mengatakan kepada Tech in Asia bahwa MNC diam-diam masih menanamkan investasi di bidang teknologi.

10. Bakrie Group

Path yang diakuisisi oleh grup Bakrie

Path yang diakuisisi oleh grup Bakrie

Bakrie Group merupakan konglomerat lokal yang didirikan oleh Achmad Bakrie pada tahun 1942. Perusahaan ini bergerak di berbagai sektor seperti pertambangan, gas dan minyak bumi, pengembangan properti, infrastruktur, perkebunan, media, serta telekomunikasi. Bakrie Group merupakan salah satu kelompok bisnis terbesar di Indonesia, bersama 10 perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia.

Pada Januari 2014, jejaring sosial tertutup Path membukukan pendanaan tahap C sebesar $25 juta dengan Bakrie Group sebagai investor utama. Pada tahun 2011, perusahaan ini juga menyatakan ketertarikannya saat mereka mengatakan akan mengucurkan dana sebesar $15 juta (sekitar Rp205 miliar) untuk startup teknologi di Indonesia. Saat ini mereka juga melakukan kerja sama terbatas dengan VC bernama Converge Ventures, tanpa punya kontrol atas operasional perusahaan tersebut.

Baca juga: Bakrie Group Pimpin Investasi Path Sebesar $25 juta

(Diterjemahkan oleh Faisal Bosnia dan diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)

The post 10 Konglomerat Indonesia yang Berinvestasi di Startup Teknologi appeared first on Tech in Asia Indonesia.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

Trending Articles