Quantcast
Channel: Tech in Asia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

Irzan Raditya: Cerita Anak Band yang Kini Tawarkan “Asisten”

$
0
0

Bila hanya melihat sekilas sosoknya, kamu mungkin akan melihatnya sebagai orang yang lekat dengan dunia teknologi. Namun siapa sangka, CEO dan Co-Founder YesBoss ini melalui banyak cerita menggelitik yang bahkan berseberangan dari ranah teknologi. Di sebuah sudut kafe di Jakarta, Irzan Raditya bercerita tentang pengalaman kewirausahaannya. Tanpa banyak berbasa-basi lagi, inilah penuturan lengkapnya!

Antara seni dan teknologi

Masa kecil Irzan diwarnai dengan dunia seni dan teknologi. “Hobi saya waktu itu menggambar, bukan sekadar corat-coret, karena sense jualannya sudah ada. Biasanya sih bikin karikatur gitu, lalu dijual ke teman-teman di sekolah seharga Rp500 per gambar,” tuturnya membuka percakapan.

Sementara di rumah, Irzan sudah mulai dikenalkan dengan teknologi sejak masih berusia belia. Sang ayah yang dulunya cukup lama bekerja di Motorola kerap membawa gadget ke rumah. “Masih membekas di ingatan, ketika ayah saya mengenalkan saya dengan komputer, bahkan gadget. Masih ingat ketika beliau membawa handphone yang tentunya belum masuk ke saku, tapi ada di rumah!” kenangnya.

Hobi menggambar Irzan terus berlanjut sampai ia duduk di bangku SMP. “Gambar yang paling sering dibuat sih karakter superhero,” ujarnya. Ketika berseragam putih biru, darah seni Irzan mulai melebar ke seni yang lain, musik. “Saya memang dari dulu sudah belajar gitar, dan saat tergabung bersama band, saya main bas,” ucap Irzan yang mengaku menyelami dunia musik secara serius selama 13 tahun lamanya.

Tidak jauh berbeda ketika Irzan duduk di sekolah dasar, selain seni, kehidupan pria berkacamata ini memang tidak jauh dari teknologi. “Semasa SMP saya sudah merasakan internet broadband. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk menjual jasa bot dari game Ragnarok Online,” ujarnya.

Hasil dari menjual jasa bot ini ternyata lebih dari cukup untuk menambah uang saku bagi seorang anak SMP. Selain itu, aktivitas Irzan yang juga berbau teknologi adalah hacking. “Saya ingat waktu itu sudah era Playstation 2, tapi saya masih punya Playstation 1. Ada game WWE Smackdown yang karakternya ada di PS2 tapi saya hack supaya bisa ada di versi PS1,” ujarnya seraya tertawa.

Sadar akan ketertarikannya terhadap programming, ia mulai mempelajari ilmunya secara lebih serius. “Sempat ikut lomba juga di sana-sini,” tuturnya. Irzan seolah hidup dalam dua dunia, rockstar ketika di panggung, dan geek ketika berada di balik layar monitor komputer.

Terbang ke Jerman

Selain musik, game, dan teknologi, Irzan juga terus mengasah kemampuan entrpereneurship-nya. “Sampai SMA itu campur-campur antara jualan CD dan bermain musik,” ujarnya. Lulus SMA di tahun 2007 dan memutuskan untuk pindah ke Jerman.

Alasannya sederhana, ingin kuliah di luar. Untuk biaya sih di Jerman gratis. Tapi tantangannya adalah bagaimana kita bisa mendapatkan kursi di sana.

Sadar harus memoles diri, Irzan mengikuti kursus bahasa Jerman 500 jam, dan akhirnya lolos kuliah di Berlin. “Waktu itu dapat jurusan IT dengan spesialisasi Mobile Application,” katanya. Sesampainya di Jerman, ia masih menyalurkan hobi lamanya di sana. Ia tergabung dalam band bernama Not Called Jinx.

Karier musik Irzan bisa dibilang cukup cemerlang. Bersama band-nya, ia sempat tampil di festival musik Java Rockin Land 2010 dan tur ke berbagai kota di Indonesia dan Jerman. “Saya makin yakin bila membuat sesuatu itu menyenangkan. Waktu masih aktif di band ya senang juga jadi artis. Tapi di sisi lain saya juga seorang mahasiswa yang masih kuliah,” tuturnya.

Kesibukan di luar kuliah tidak membuatnya “lupa” dengan kewajiban utamanya. Di penghujung masa kuliahnya ia mengambil spesialisasi. “Waktu itu opsinya hanya dua, Multimedia atau Apps.”

Awalnya ingin ngambil multimedia, tapi kuliahnya malam dan kerasanya malas. Akhirnya ambil aplikasi, waktu itu masih belum hype di tahun 2009. Dari sana belajar programming murni sampai tahun 2012. Akhirnya berhasil lulus tepat waktu.

Menurut Irzan, lulus tepat waktu adalah sebuah pencapaian bagi mahasiswa asing yang kuliah di Jerman. “Pertama pasti terkendala bahasa. Kedua pasti ada saja “gangguan”, dan terlebih karena tinggal sendiri kita merasa dapat kebebasan lebih,” katanya.

Pencarian “jalan”

Selain bermusik, masa kuliah Irzan ternyata juga diisi dengan menjadi developer Android paruh waktu. “Setelah lulus juga belum terpikir untuk mendirikan startup, jadinya sempat bekerja di sejumlah perusahaan,” ujarnya. Irzan yang menetap di Jerman selama 8 tahun mengaku banyak menimba pengalaman dari berbagai kantor. “Yang paling berkesan adalah ketika bekerja di Zalando, sister company Zalora,” kata Irzan. Meski begitu, ia mengaku sering merasa “jalan”-nya tidak di sana.

Menyenangkan memang, bekerja di perusahaan besar dan saya punya latar belakang di bidang teknik yang kuat. Tapi di sisi lain saya juga suka mendesain, dan jualan. Terlepas dari itu semua, saya suka merancang sesuatu daripada diminta membuat sesuatu.

Di tengah pencarian “jalan” itu Irzan menemukan pelajaran yang menarik, product management. “Saya ingin menjadi product manager dalam pengembangan aplikasi mobile. Akhirnya saya berhasil menjadi head of mobile development di sebuah perusahaan food delivery,” tambahnya.

Setelahnya, Irzan mulai mencoba menapakkan kakinya di ranah startup. Meski begitu, ia tidak serta merta meninggalkan pekerjaannya. Setidaknya ada empat startup yang sempat didirikan sebelum akhrinya fokus di YesBoss.

Sempat bikin layanan tweet to download untuk musisi, namanya Amplitweet. Lalu ada lagi clothing line Cape & Fly, aplikasi fashion STYYLI yang produknya tidak pernah diluncurkan, dan Airbnb untuk masyarakat Indonesia di luar negeri Rumah Diaspora.

Irzan pun sempat bercerita mengapa ia harus melepas empat startup buatannya ini. “Amplitweet waktu itu sebenarnya monetisasinya jalan, tapi karena saya sendirian mengurus semuanya dan masih kerja. Sementara Cape & Fly yang dibuat atas dasar kecintaan saya dengan dunia superhero membuat saya mendirikan clothing line ini. Sayang karena kesibukan dan jarak antara Jakarta dan Jerman akhirnya startup ini juga harus tutup,” bebernya.

Sementara dua startup lainnya memberikan pengalaman berharga yang berbeda bagi Irzan. “Waktu mengembangkan STYYLI masalahnya adalah memberikan proyek outsource pada orang yang salah. Hasilnya menjadi tidak sesuai ekspektasi,” jelasnya. Sementara Rumah Diaspora akhirnya menjadi proyek sosial setelah kini ditangani Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).

Meski mencoba berkali-kali, Irzan tidak pernah merasa rugi. “Semuanya adalah pengalaman terbaik bagi saya. Apa yang saya capai sekarang, mungkin tidak akan pernah terwujud tanpa melewati beragam fase tersebut,” tutur penggemar Steve Jobs dan Tom Delonge ini.

Besar bersama pop punk

Bila kamu melihat Irzan sekarang sebagai Founder YesBoss, makin kamu akan sulit percaya bila ia adalah seorang penggemar musik punk. “Kalau ditanya soal musik, pasti saya akan menjawab Blink 182,” tuturnya. Selain itu ia juga mengaku banyak mendengarkan musik rock.

Irzan YessBoss Band-Not Called Jinx

Irzan (bermain bass) bersama band-nya, Not Called Jinx.

Penyuka komik-komik Marvel dan film superhero ini juga sangat menggilai Star Wars dan Back To The Future. Di waktu luang, Irzan biasa menghabiskan waktu untuk membaca buku, bercengkerama bersama keluarga, dan tentunya pasangan. “Kalau buku saya biasanya sebulan baca sekitar 2 sampai 3 buku. Nah sejauh ini yang mejadi favorit saya Start With Why karya Simon Sinek. “Buku ini mengajarkan bagaimana membuat sebuah produk bisa dikenal secara emosional, contohnya Apple,” jelas Irzan.

Setiap harinya Irzan juga memiliki rutinitas harian. “Saya selalu bangun pagi, solat subuh dan disambung lari pagi sekitar 30 menit. Setelahnya saya akan mengecek e-mail dan sarapan, lalu mulai berkoordinasi dengan tim dari rumah. Habis itu lalu berangkat ke kantor. Dan setelah selesai jam operasional maka biasanya dilakukan review aktivitas harian,” jelas Irzan.

Dengan rutinitas seperti ini, Irzan kerap menyebut pola kerjanya seperti tukang:

Saya suka kerja kayak tukang roti. Pagi bikin, siang jualan, malam berhitung. Bedanya kalau tukang beneran yang dihitung pendapatan, saya data.

Tidak pernah “merugi”

Bagi seorang entrepreneur, naik dan turun, untung dan rugi, adalah hal yang sangat lumrah. Pun demikian dengan Irzan, ia mengaku pernah “kecolongan” ketika menggarap STYYLI. “Tapi saya tidak pernah merasa rugi secara finansial. Pelajaran yang didapat dari kejadian itu tetap memberikan keuntungan,” katanya.

Irzan sendiri menganut prinsip tidak ada suatu hal yang sifatnya kebetulan.

Everything happens for a reason. Saya ketemu sama tunangan saya karena ngeband, kalau dulu saya nggak ngeband juga rasanya nggak bisa menjalankan startup. Belajar marketing darimana? Ya itu dari ngeband, tahu caranya cari sponsor, jualan produk.

Meski cukup pede, Irzan mengaku setiap malam selalu tidur dalam dua kondisi yang berbarengan. “Excited dan deg-degan itu pasti. Pernah di suatu malam sistem kami gangguan selama 8 jam, dan itu seperti one of the longest nights in my life,” tuturnya.

Lalu bagaimana cara menghadapi kondisi-kondisi yang tidak terprediksi semacam itu? Ia menjawab ringan. “Saya percaya pada kekuatan sang pencipta, selain tentunya kami berusaha semaksimal mungkin. Selain itu tentunya restu orang tua,” ujarnya.

Kepada pelaku startup baru, Irzan menyampaikan pesan singkat:

You can start as a superman in saying a business, but in order to grow you need some power rangers.

(Diedit oleh Lina Noviandari)

The post Irzan Raditya: Cerita Anak Band yang Kini Tawarkan “Asisten” appeared first on Tech in Asia Indonesia.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

Trending Articles