Sukses tidak harus berasal dari kota besar. Rian Yulianto melalui Gulajava Ministudio mencoba membuktikan itu. Di masa masih duduk di bangku sekolah, ia bahkan sempat harus berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Lalu bagaimana akhirnya pria yang mengaku sempat terpesona dengan kereta api ini menjadi developer? Simak penuturan lengkapnya kepada Tech in Asia.
Cinta dan kereta
Setiap orang pasti pernah memiliki kisah cinta pertama. Bagi Rian, cinta pertamanya sudah tumbuh saat masih duduk di bangku sekolah dasar. “Waktu itu sedang jalan-jalan ke Yogyakarta dan saya melihat ada bentuk kendaraan yang unik seperti ular berjalan di rel. Dari sanalah muncul cita-cita menjadi masinis,” jelasnya.
Rian sendiri mengaku kerap berpindah-pindah tempat tinggal. Orang tuanya yang merupakan pegawai swasta dengan penempatan area kerja yang berpindah-pindah membuatnya cukup bingung beradaptasi dengan lingkungan sekitar. “Pasti perlu menyesuaikan dengan bahasa daerah setempat, dan bingung juga kalau ditanya asalnya dari mana. Saya SD di Kalimantan Selatan, SMP di Cepu, dan SMA di Cilacap,” paparnya.
Kembali lagi ke cita-cita masa kecil Rian, dari cinta pertamanya itu rasa penasarannya muncul. “Gimana sih rasanya mengemudikan kereta api?” kenangnya. Ketertarikannya disalurkan dengan mengoleksi mainan kereta api dan juga memainkan game simulasi kereta api di PC dan Playstation.
Cinta Rian sempat dibuat galau oleh gurunya ketika duduk di kelas 3 SMA. Pada mata pelajaran praktik komputer, ia mendapat penjelasan bila internet akan menjadi masa depan dan mulai menjangkau kawasan pelosok di Indonesia. “Ketika mendapat penjelasan bila produk elektronik nantinya akan terhubung ke internet saya menjadi semakin tertarik untuk mendalami,” jelasnya.
Ini membuat saya galau, apakah melanjutkan sekolah perkeretaapian agar bisa menjadi masinis, atau lanjut kuliah dan mendalami bidang IT.
Berkat saran dari orang tua, Rian memutuskan mengubur mimpinya menjadi masinis, dan akhirnya memutuskan menyelami ranah IT yang diambilnya pada jurusan Teknik Telekomunikasi di Telkom University.
Awalnya coba-coba, akhirnya…
Mungkin kamu masih ingat dengan parodi sub-judul di atas. Masih ingat jawaban akhirnya? Tentu saja kecanduan. Untungnya, yang dimaksud kecanduan oleh Rian di sini bukan hal yang negatif. Ia bertemu dengan teman yang memiliki ketertarikan di ranah entrepreneur khususnya yang berhubungan dengan IT dan gadget mobile.
Rian menuturkan bila awal ketertarikannya bermula di antara tahun 2011 lalu ketika smartphone Android mulai bermunculan di Indonesia. “Saya waktu itu berpikir, kenapa tidak memanfaatkan momentum ini sebagai bahan untuk berkreasi dan mengulik-ulik API yang ada di dalamnya,” ia juga menilai aplikasi untuk smartphone cenderung lebih fungsional dan tren orang mengunduh aplikasi di PC juga sudah mulai bergeser ke perangkat mobile.
Ia lantas teringat teman-teman semasa masih berseragam putih abu-abu yang memiliki hobi mengotak-atik aplikasi. Rian mengutarakan idenya dalam mengembangkan aplikasi smartphone. “Ide itu disambut baik dan di awal ide pembuatan aplikasi mengalir begitu saja dari kami,” lanjutnya.
“Candu” pada Rian berlanjut ketika ia dan teman-temannya berhasil mewujudkan ide membuat aplikasi bertema transportasi. “Respon positif yang didapat membuat saya makin ‘ketagihan’ menyelesaikan beragam proyek yang telah direncanakan dan terus mengembangkan ide-ide baru,” imbuhnya.
Dikira jualan gula merah
Nama adalah identitas penting dari sebuah produk. Hampir bisa dipastikan ada makna dari produk tersebut. Demikian pula halnya dengan Gulajava Ministudio. Rian mengaku proses pencarian nama ini menjadi bagian terunik dalam perjalanannya mendirikan startup.
Tadinya sudah mencari nama hewan, tumbuhan, sampai nama-nama yang berbau futuristis masuk dalam daftar, tapi belum ada yang sreg.
Akhirynya Rian “mudik” ke Cilacap dan sarapan di pasar tradisional menyantaop kue lupis dan kue cenil. Kedua kue ini disiram dengan gula merah yang menghadirkan sensasi rasa manis dan gurih. “Eh ternyata rasanya kurang manis jadilah saya bilang Mbak, kurang legi niku kuene– (kurang manis kuenya), habis itu ditambahkan tiga sendok makan gula merah ke kue saya,” kenangnya.
Kejadian tersebut membuat Rian merasa cocok mengambil nama gula ini sebagai nama produknya. Berbekal diskusi dengan teman-temannya, disepakatilah nama Gulajava Ministudio. “Sedikit dimodifikasi dari nama aslinya,” ujarnya.
Karena belum sempat mendesain logo, awalnya Rian dan timnya menggunakan gambar gula jawa yang diambilnya dari internet. Tapi ternyata hal ini menjadi “bencana”. Tidak sedikit pengguna internet awam yang menyangka Rian berjualan gula jawa. “Sambil mencoba meluruskan kalau kami bukan penjual gula merah tapi tim developer, kami segera merampungkan desain seperti yang sekarang bisa dilihat kalian semua,” ungkapnya.
Kue tradisional dan musik lembut
Meski bergelut di bidang IT, Rian saat ini mengaku tengah banyak membaca buku-buku resep kue asli Indonesia. “Bukan karena ingin belajar masak, tapi saya ingin sekali untuk membuka toko kue (mungkin online) berisi beragam kue tradisional dari tanah air,” ujar sosok yang mengaku banyak terinspirasi dari nasihat orang tuanya ini.
Untuk menemani kesehariannya saat coding, Rian banyak mendengarkan musik pop. Salah satu musisi favoritnya adalah Taylor Swift. Di waktu luangnya yang lain, pria yang biasa mengawali hari dengan meminum secangkir teh ini akan menonton film superhero dan science-fiction. “Interstellar, Edge of Tomorrow, Spiderman dan Ant-Man adalah beberapa favorit saya.
Ketika sedang benar-benar ingin bersantai, Rian biasanya selalu mencari tempat kuliner baru atau merawat tanaman yang ada di depan rumahnya.
Tidak memakai kantor fisik
Bagi kamu yang masih beranggapan bila untuk mendirikan bisnis harus memiliki kantor, cara Rian dalam mendirikan Gulajava Ministudio bisa ditiru. “Kami tidak memiliki kantor nyata. Beberapa staf juga ada yang di Bandung, Bekasi dan beberapa daerah lainnya. Sehingga kami kerap bekerja dari berbagai tempat,” jelas Rian.
Untuk mempermudah komunikasi dalam tim, Rian menggunakan Google Hangouts dan Slack. Selain itu, ia juga menggelar pertemuan rutin di co-working space yang ada di Bandung. “Kalau sehari-hari tiap-tiap orang bebas bekerja dari mana saja,” sambungnya.
Penggunaan konsep ini menurut Rian juga ditujukan untuk mengakomodasi karakternya yang kerap bosan dengan ruang kerja yang itu-itu saja. “Saya senang berpindah-pindah tempat untuk mencari inspirasi ketika coding.
Mengeluarkan “jurus” sederhana
Bicara mengenai kehidupan entrepreneur, Rian mengaku tetap sering diselimuti rasa khawatir. Seperti ketika muncul banyak pesaing dengan produk sejenis dengan dukungan dana yang lebih bear, atau ketika bisnis menjadi jalan di tempat.
Meski begitu, hal yang lebih membuatnya resah adalah masih banyaknya orang yang masih belum paham betul ranah startup dan kurang familier dengan entrepreneur. “Masih banyak yang menganggap remeh bekerja di ranah ini, karena stigma bila pekerjaan bagus adalah bekerja di perusahaan besar,” tuturnya.
Kondisi ini juga dinilainya sebagai kesulitan dalam pemasaran produk. “Pandangan seperti itu membuat masyarakat kerap kurang yakin dengan produk hasil startup karena belum memiliki nama besar,” jelas Rian.
Untuk menyiasati hal-hal semacam ini, Rian mengaku menerapkan “jurus” membuat produk yang sederhana, tapi berguna bagi banyak orang. “Selain itu juga bisa menjajal ranah yang belum banyak dikerjakan orang seperti teknologi pangan dan smart city,” tandasnya.
The post Founder Stories Gulajava Ministudio: Dari Rangkaian Kereta Sampai Manisnya Gula appeared first on Tech in Asia Indonesia.