Sebelumnya, mari kita kembali menengok 19 tahun lalu. Alan Greenspan, chairman US Federal Reserve Board saat itu, menggunakan istilah “kesuburan irasional” untuk menjelaskan tingginya semangat investor saat bubble dot-com di Amerika — salah satu fenomena yang cukup terkenal di penghujung abad 20 tersebut — mulai meledak.
Pada dasarnya, saat itu investor milik pemerintah dan swasta sangat yakin akan potensi perusahaan internet sampai cerita apapun yang menyangkalnya akan diabaikan. Ini membuat para pemain di pasar teknologi membentuk ekspektasi yang tidak realistis mengenai modal yang bisa mereka dapat, dan lebih buruk lagi, mengambil tindakan berdasarkan ekspektasi tersebut.
Akibatnya, beberapa perusahaan akhirnya runtuh. Pets.com yang menjual persediaan untuk hewan peliharaan secara online, misalnya, berhasil meraih IPO senilai $82 juta (sekitar Rp 1 triliun) IPO-nya di tahun 1999. Tapi perusahaan itu kemudian dilikuidasi 268 hari kemudian setelah menghabiskan lebih dari $80 juta (sekitar Rp 1 triliun) untuk biaya iklan. Modal mereka yang berjumlah $300 juta (sekitar Rp 4 triliun) juga hilang begitu saja beserta dengan perusahaan itu sendiri.
Contoh lain misalnya Webvan.com yang menjual barang belanja sehari-hari secara online. Dalam tiga tahun, perusahaan ini berhasil mendapatkan total pendanaan sampai $375 juta (sekitar Rp 5 triliun) dan punya valuasi $1,2 miliar (sekitar Rp 16 triliun). Tapi, 12 bulan kemudian, perusahaan itu melepas 2.000 pegawainya sebelumnya akhirnya bangkrut. Kisah Webvan ini sekarang menjadi cerita andalan untuk mengingatkan sisi buruk dari bubble. Perusahaan dengan model bisnis yang solid dan metrik sukses yang lebih baik seperti Amazon dan eBay memang bisa bertahan, tapi tetap dengan biaya yang besar. Mereka mengalami kerugian besar dan penurunan nilai saham. Tapi pada akhirnya mereka tetap bertahan dan sekarang punya valuasi lebih besar dibanding masa bubble tersebut..
Di Asia Tenggara, kita sedang melihat gejala yang sama, khususnya pada perusahaan e-commerce. Contoh kasusnya bisa diambil di berbagai negara Asia, tapi untuk membahas in secara lebih mendalam dan fokus, saya ingin membahas Indonesia saja, yang merupakan pasar yang paling besar dan diincar oleh mereka yang ingin menjadi perusahaan e-commerce besar. Karena sekarang tren e-commerce Indonesia sedang marak, apakah Jakarta tanpa sadar akan mengulang bubble dot-com di Silicon Valley di akhir tahun 90-an?
Apakah sudah ada FOMO untuk Indonesia?
Saya baru-baru ini mengenal istilah FOMO, atau Fear of Missing Out (takut ketinggalan). Misalya, Anda sudah memiliki tiket konser rock, tapi salah satu teman Anda yang cukup populer akan mengadakan pesta keren rahasia di suatu tempat. Mana yang akan Anda pilih?). Pelaku e-commerce asing yang sudah mulai melirik Indonesia — dengan populasi 250 juta orang dan pendapatan per kapita yang naik sekitar lima hingga enam persen berkat konsumerisme lokal — mengerti perasaan FOMO ini.
Lyall Taylor, associate director perusahaan layanan finansial global Macquarie Group di Jakarta menjelaskan fundamental siklus bubble (yang mengembung kemudian pecah).
“Biasanya, industrinya akan bertumbuh dengan cepat […] sehingga memberikan keuntungan pada investor awal. Keuntungan ini menarik perhatian media dan akhirnya memikat lebih banyak orang untuk ikut terlibat, sehingga membuat harga terus naik,” kata Taylor. “Kenaikan harga mendorong munculnya tahap bubble ketika harga harga mulai naik dengan jauh lebih cepat. Kenaikan harga ini menjadi semakin spekulatif dan tidak mempertimbangkan faktor awal yang mendorong bubble atau tren tersebut muncul. Para spekulator juga mulai membentuk keyakinan emosional terhadap kenaikan harga yang akan datang karena melihat adanya kenaikan harga di masa lalu.”
Menurut Lyall, dalam situasi ini, hasil akhir yang paling memungkinkan adalah jika bubble-nya bisa mengecil secara perlahan dan berurutan — yang sering disebut sebagai “pecah secara halus”. Ini berarti harga di industri tersebut akan tetap stagnan selama beberapa tahun dan hal-hal penting di sebuah sektor di industri tesebut punya waktu untuk mengikuti trennya. Namun di sisi lain, kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah bubble yang sangat cepat dan tidak berurutan, dan membuat semua orang panik. Jika ini terjadi, Lyall mengatakan bahwa orang yang bisa mengambil keuntungan di tengah kondisi ini adalah orang yang dengan tepat sadar akan adanya fenomena bubble dan menempatkan diri di posisi yang bisa mengambil keuntungan ketika kondisi pasar sedang menurun.
Di Indonesia, industri e-commerce berkembang dengan cepat. Meskipun Lyall tidak menggunakan istilah FOMO, dia mengemukakan kemiripan antara keyakinan investor di e-commerce Asia Tenggara saat ini dan fenomena bubble dot-com di Amerika. Ia mengatakan:
Satu kemiripannya adalah investor menganggap pertumbuhan yang terjadi akan terus berlangsung dan peluang sukses perusahaan teknologi akan sangat besar, meskipun semua itu tidak pasti.
Meskipun berbagai aset e-commerce saat ini juga dibanderol tinggi, Lyall menambahkan bahwa satu perbedaannya adalah Asia Tenggara tidak mengubah sesuatu atau membuat sesuatu yang baru, tapi hanya mengadopsi dan mengikut tren yang sudah ada di negara-negara lain. Lyall bahkan merasa bahwa meramalkan tren di e-commerce Asia Tenggara sebenarnya lebih mudah jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat.
Jika Indonesia memang mengalami bubble e-commerce, hanya sedikit orang yang akan merugi lebih besar dari Adrian Vanzyl, CEO Ardent Capital, VC dan pembuat perusahaan asal Thailand yang berfokus hampir seluruhnya ke e-commerce dan e-commerce enabling di Asia Tenggara.
Adrian juga sempat merasakan bubble dot-com. Ia pernah bekerja di perusahaan bernama [LookSmart(http://www.looksmart.com/), sebuah mesin pencari yang terdiri dari beberapa orang co-founder asal Australia yang berani bersaing langsung dengan Yahoo. Saat itu pasarnya cukup marak, dan LookSmart bahkan terdaftar di NASDAQ, serta sempat punya valuasi sampai $3,5 juta (sekitar Rp 46 miliar). “Valuasi mereka sebenarnya sesuai dengan pendapatan yang mereka punya,” kata Adrian. “Tapi saat itu, semua orang yakin bahwa perusahaan kami tidak akan pernah surut sama sekali.”
Selain melahirkan aCommerce, penyedia layanan e-commerce yang cukup terkenal di Asia Tenggara, beberapa minggu terakhir ini, Ardent meluncurkan e-commerce khusus wanita bernama Moxy, dan e-store perlengkapan kantor bernama Bizzy di Jakarta. Ardent melihat Indonesia sebagai pasar yang memang tidak bisa diabaikan, dan Adrian tidak ragu mengakui FOMO yang dia alami terhadap Big Durian. Lebih lanjut ia mengatakan:
Di Asia Tenggara, Indonesia adalah pasar yang saat ini, atau setidaknya awal tahun depan, paling besar dan paling penting. Siapapun yang punya strategi regional tapi tidak punya keberadaan yang solid di Indonesia akan tertinggal.
Ardent dan aCommerce tahun lalu melakukan taruhan yang berani di Indonesia dengan menambah jumlah tim utamanya sampai 400 orang. Adrian mengatakan bahwa Ardent melakukan itu untuk mengantisipasi melonjaknya pendapatan industri e-commerce di Indonesia awal tahun depan — sampai lebih tinggi dari Thailand dan menjadi pasar paling subur di Asia Tenggara. “Tren itu terjadi jauh lebih cepat dari yang kami prediksi,” jelasnya. “Bahkan, pendapatan aCommerce di Indonesia saja sudah melampaui Thailand bulan lalu, dan itu enam bulan lebih awal dari rencana.” Tapi bila melihat secara objektif, ketertarikan Adrian pada ranah e-commerce Asia Tenggara membuatnya berada dalam posisi bias seperti halnya industri itu sendiri. Meski begitu, ia mengaku banyak mendapatkan manfaat dari menaruh perhatian lebih pada di industri ini.
Donald Wihardja, partner sebuah VC Indonesia bernama Convergence Ventures mungkin tidak akan bergitu terpengaruh, karena perusahaannya belum membuat gerakan yang berfokus pada e-commerce di Indonesia (meskipun mereka memang melakukan investasi ke IndoTrading, sebuah direktori UKM B2B). Selain itu, Donald juga mantan kepala divisi riset di Indonesia E-commerce Association.
Ia menggunakan Tokopedia sebagai contoh. “Semua orang merasa bahwa investasi sebesar $100 juta (sekitar Rp 1,3 triliun) untuk Tokopedia itu terlalu besar. Tapi kita tidak tahu, karena kita memang tidak tahu pasti valuasi Tokopedia,” kata Donald. “Tapi apakah modelnya bisa berjalan secara berkelanjutan? Bisakah Tokopedia tumbuh menjadi perusahaan e-commerce bernilai miliaran dolar? Tentu bisa. Sektor retail di Indonesia memiliki valuasi sekitar $200 miliar (sekitar Rp 2.600 triliun). Berarti, dalam satu kali valuasi pasar, satu Tokopedia yang bernilai $1 miliar (sekitar Rp 13 triliun) bisa melayani 0,5 persen seluruh ruang di industri retail, dan itu tentu bisa dicapai.”
India Kecil
Beberapa orang berspekulasi bahwa potensi pertumbuhan dan pasar e-commerce, di Indonesia akan menyaingi India. Dengan populasi lebih dari 1,25 miliar orang dan lebih dari 243,2 juta di antaranya adalah pengguna internet, dalam beberapa tahun terakhir saja, India sudah menghasilkan beberapa e-commerce unicorn (perusahaan yang punya valuasi lebih dari $1 miliar atau sekitar Rp 13 triliun). Flipkart adalah salah satu contohnya, dan punya valuasi lebih dari $15 miliar (sekitar Rp 200 triliun. Snapdeal adalah contoh yang lain dengan valuasi lebih dari $1 miliar ditambah investasi sebesar $627 juta ( sekitar Rp 8,4 triliun) yang dipimpin oleh SoftBank dari Jepang.
Meskipun populasinya tidak sebesar India, Indonesia tetap merupakan negara keempat terbesar di dunia dengan populasi 250 juta orang. Penetrasi internetnya juga sudah mencapai angka 30 persen, naik 10 persen dari prediksi tahun lalu. Ini berarti lebih dari 75 juta orang sudah pernah mengakses internet (angkan tersebut akan lebih besar jika Anda menghitung orang-orang yang mengakses internet hanya dari handphone). Di Indonesia, ada beberapa calon e-commerce yang berpotensi menjadi unicorn. Salah satunya adalah Tokopedia. Selain itu, ada juga marketplace B2B Lazada Indonesia, serta situs e-ticketing Traveloka.
Sharad Sharma, Co-Founder iSPIRIT, sebuah situs kumpulan pengetahuan dan wawasan yang bertujuan mengubah India menjadi sebuah hub untuk produk software generasi baru, mengatakan bahwa nilai perusahaan e-commerce di India memang terlalu tinggi. Sharad mengatakan kepada The Economic Times:
Satu-satunya pertanyaan adalah ‘bagaimana sebuah bubble bisa surut?’ […] Saat ini, Flipkart punya valuasi sekitar $500 (sekitar Rp6,7 juta) per pengguna yang melakukan transaksi. Angka itu sebanding dengan jumlah yang dibayar Vodafone ke Hutch di tahun 2007 — yang merupakan akuisisi operator mobile terbesar. Flipkart sudah berubah dari perusahaan kecil menjadi satu-satunya risiko terbesar bagi ekosistem teknologi. Saya harap perusahaan ini tidak hancur begitu saja.
Jika Anda melihat pertumbuhan e-commerce B2B di tahun 2014, Indonesia ada di peringkat kedua dengan pertumbuhan hingga 45,1 persen, hanya tertinggal di belakang China yang pertumbuhannya 63,8 persen. “Coba tebak siapa di peringkat tiga? India dengan pertumbuhan 31,5 persen,” tambah Adrian. “Indonesia dan India memang mirip karena punya ekonomi yang besar dan sedang berkembang dengan populasi terpencil yang berjumlah besar. Keduanya juga punya perbedaan penghasilan yang cukup terjal, 33,6 persen untuk India, dan 38,1 untuk Indonesia. Keduanya punya ruang untuk perbaikan.
Donald juga mengakui. “Ya, sepanjang perjalanan, akan ada beberapa bubble. Tapi hanya akan melihatnya ketika beberapa perusahaan teknologi Indonesia berhasil mencapai valuasi $1 miliar (sekitar Rp 13 miliar) atau lebih,” katanya. “Memang, India punya populasi lima kali lebih besar dari Indonesia, tapi pendapatan per kapita India hanya setengah dari Indonesia. Jadi, kita tidak perlu khawatir akan bubble di Indonesia ketika negara ini punya 50 persen jumlah perusahaan dengan valuasi $1 miliar (Rp 13 miliar) di India.
Menurut Adrian, di tahun 2014, ada 84 investasi e-commerce yang di India, dan 12 di Indonesia. Ia memprediksi Indonesia akan semakin maju seiring semakin bagusnya pertumbuhan dan adanya akuisisi regional seperti Luxola yang memperlihatkan bahwa pasar Asia Tenggara memang sudah siap untuk memasuki gebrakan yang lebih besar.
“Meski begitu, Indonesia memiliki risiko untuk masuk ke zona bubble jika dan saat ada perusahaan e-commerce yang bisa menjadi pemenang pasar ke depannya,” Lyall mengingatkan. “Bagi banyak segmen e-commerce, halangan untuk masuk ke pasar ini sangatlah rendah. Ketika halangan ini dilupakan, […] investor akan mulai membeli saham perusahaan teknologi untuk mendapat modal dengan cepat, dan bukan berdasarkan analisa prospek jangka panjang perusahaan tersebut.
Isolasi keluarga?
Situasi di Indonesia, dan sebagian besar Asia Tenggara, secara fundamental berbeda dari apa yang terjadi di Amerika. Satu perbedaan kuncinya adalah perusahaan teknologi Indonesia tidak tertarik untuk masuk ke ranah publik atau Indonesian Stock Exchange (IDX), dan itu tidak salah, karena di awal bulan ini, IDX disebut sebagai pasar saham yang performanya paling buruk di Asia. Jika startup teknologi di Indonesia ingin IPO, mereka harus masuk ke pasar asing seperti Hong Kong Stock Exchange (SEHK) atau Australian Securities Exchange (ASX).
Perbedaan lain adalah fakta bahwa sebagian besar ekonomi lokal dikendalikan oleh lima sampai 10 keluarga konglomerat, dan perusahaan-perusahaan swasta ini punya atau sudah melahirkan pelaku e-commerce besar, misalnya MatahariMall miliki Lippo Group.
“Semua keluarga besar ini tidak hanya ada di Indonesia, tapi di seluruh Asia Tenggara, mulai melirik sektor e-commerce di tanah air,” kata Adrian. “Secara teori, jika bubble-nya pecah, saya rasanya perusahaan-perusahaan tidak akan hancur begitu saja berkat besarnya investasi yang ada saat ini serta banyaknya investor swasta dan konglomerat besar.
Tapi Lyall tidak begitu setuju. Menurutnya, konglomerat di Indonesia tidak akan punya kekuatan jika bubble yang ada pecah. “Sifat alami internet cukup demoktratis dan punya halangan masuk yang rendah untuk perusahaan baru,” jelasnya. “Jika ini terjadi, konglomerat yang kuno tidak akan punya pengaruh yang kuat terhadap evolusi industri ini. Selain itu, bahkan konglomerat yang kuat sekalipun tidak bisa mengatur harga aset.”
Untuk opsi exit untuk perusahaan e-commerce Indonesia yang akan menjadi unicorn, dalam waktu dekat, akuisisi asing dari perusahaan seperti Amazon atau Alibaba akan jadi target utama startup lokal, dan bukan IPO.
Adrian juga mendukung teori ini. “Dalam jangka pendek atau menengah, 95 persen perusahaan akan exit melalui M&A dan bukan melalui IPO,” katanya. Kebanyakan dari mereka tidak akan layak untuk terdaftar di bisnis yang lebih besar.” Tapi, untuk pelaku regional yang besar seperti Lazada Group atau GrabTaxi, ia yakin bahwa valuasi perusahaan-perusahaan tersebut sudah sangat tinggi sehingga tidak punya pilihan lain selain IPO.
Jadi, apakah Indonesia akan menyaksikan fase awal dari siklus bubble e-commerce yang mirip dengan India dan bubble dot-com di Amerika? Ketiga narasumber kami mengatakan “tidak juga”.
Berdasarkan data Macquarie, Lyall mengatakan, “Saat in ada banyak sensasi yang muncul pada potensi perkembangan e-commerce di Indonesia. Tapi, tidak ada tanda-tanda bubble yang terlihat di harga aset teknologi.”
Adrian juga mengutarakan pendapat yang sama, “Di semua kasus [bubble dot com], valuasi pasarnya tidak terlalu tinggi. Tidak satupun dari perusahaannya memiliki pendapatan (setelah membayar pajak) yang membuat valuasi mereka memang masuk akal. Tapi semua orang yakin perkembangan industrinya akan terus berlangsung. Apakah Asia Tenggara berada dalam kondisi yang sama? Sama sekali tidak.”
(Diterjemahkan oleh Yasser Paragian dan diedit oleh Pradipta Nugrahanto)
The post Mengapa Fenomena Bubble Tidak Akan Terjadi Pada Industri E-commerce di Indonesia appeared first on Tech in Asia Indonesia.