Bila Anda di masa muda berkesempatan untuk kuliah di luar negeri dan setelah lulus mendapat tawaran bekerja di berbagai perusahaan bergengsi, apa yang akan Anda lakukan setelahnya? Razi Thalib selaku Founder Setipe.com adalah salah satu orang yang rela “membuang” kesempatan emas dan memilih untuk menceburkan diri di ranah entrepreneur. Bagaimana kisah perjalanan Razi? Simak obrolan seru bersama Tech in Asia sembari menunggu momen buka puasa beberapa waktu lalu.
Mahasiswa rantau yang galau
Mengenang masa sekolah dan kuliah adalah salah satu momen paling menyenangkan sepanjang hidup. Namun tidak demikian dengan Razi, ia yang berkesempatan kuliah di Sydney justru sempat mengalami masa-masa galau. “Saya cuman tahunya dulu kuliah ya kuliah saja,” ujarnya membuka percakapan.
Berjalan tanpa arah membuat Razi tidak tahu harus berbuat apa, kampus demi kampus ia jajaki. “Darui yang awalnya kuliah sains, lalu pindah ke bisnis, sampai akhirnya IT. Itu semua saya lakukan di kampus yang berbeda,” lanjutnya.
Usai kuliah, kegalauan ini belum berakhir, ia masih belum tahu apa yang akan dilakukan setelahnya. Ia bahkan mengaku sempat “cemburu” dengan anak muda seusianya yang sudah mengetahui apa yang akan mereka lakukan nantinya, bahkan sebelum lulus kuliah. “Ada masa-masa yang membuat saya kesal, kenapa saya tidak kunjung menemukan jalan,” tambah Razi.
Menolak tawaran perusahaan besar
Lebih dari satu dekade lalu Razi merampungkan kuliahnya dan berhasil meraih gelar IT. Layaknya fresh graduate lainnya ia pun mencoba mencari pekerjaan. “Sejumlah perusahaan raksasa seperti eBay dan Apple sudah hampir menerima saya,” ujarnya. Namun di setiap akhir tes ia selalu merasa tidak puas dengan tawarannya. “Waktu itu saya tidak mau hanya sekadar menjadi tech support. Saya selalu merasa ingin mendapat posisi yang lebih dari itu, apalagi dengan gelar IT yang disandang. Kalau orang melihat pasti bertanya-tanya sih, kenapa ada kesempatan emas nggak diambil,” jelasnya lagi.
Sikapnya yang demikian membuat Razi mengalami kebangkrutan. “Komitmen saya seusai kuliah adalah tidak lagi meminta uang pada orang tua,” ujarnya. Dengan kondisi belum memiliki pekerjaan, ia bahkan sempat harus hidup dengan kondisi keuangan yang super pas-pasan dan bekerja serabutan. “Dengan uang receh yang ada saya membeli berbagai bahan makanan murah dan menerima segala tawaran kerja. Beberapa di antaranya adalah data entry dari layanan berbasis SMS dan e-mail blast sebelum e-mail sendiri populer,” katanya. Kondisi finansialnya semakin diperparah dengan banyaknya teman yang sempat berhutang. “Dulu prinsipnya kalau saya punya, ada yang meminta bantuan ya saya bantu. Ketika saya bangkrut makin terasa beratnya,” ujar Razi.
Razi akhirnya mulai merintis karier dengan bergabung dengan sejumlah perusahaan rintisan berbasis teknologi di Australia. “Tentunya tetap sama dengan penawaran sebelumnya, saya harus memulai dari posisi bawah sebagai tech support, namun ada pengalaman yang saya ambil sampai sekarang yaitu analisis pasar,” lanjutnya.
Sifat mudah bosan dan keinginan untuk “main-main” yang masih bergejolak membuat Razi kembali sempat mengalami masa-masa tidak serius bekerja. Sampai akhirnya ada kesempatan untuk bergabung dengan sebuah perusahaan media besar di Australia. “Waktu itu saya diberi tanggung jawab untuk divisi digital dan terlibat dalam pengembangan produk. Saat itu saya sudah yakin untuk bekerja dengan serius,” ujarnya. Selain itu ia juga sempat bekerja di sebuah situs kencan sebagai Product Manager.
Namun pada akhirnya ia kembali dihadapkan pada kenyataan pekerja kantoran. “Setinggi apapun posisi kita di perusahaan, tetap saja kita akan menjadi beban,” katanya lagi. Hal ini yang membuatnya berpikir ulang untuk meneruskan karier di negara itu.
Kembali ke Indonesia
“Oktober entah mengapa selalu menjadi bulan dengan momen penting bagi saya,” ujar Razi di tengah-tengah obrolan. Termasuk keputusannya untuk kembali ke Indonesia juga terjadi di bulan tersebut di tahun 2010. “Oh ya, waktu itu saya belum yakin mau jadi _entrepreneur sih,” lanjutnya.
Namun Razi memiliki satu keyakinan yang pasti bisa mendapat apresiasi lebih dengan kembali ke tanah air. Setelah beberapa tahun tinggal di negeri orang, ia melihat bila perbedaan Australia dan Indonesia ibarat infrastruktur jalan.
Kalau di Australia itu jalanannya mulus, sementara di Indonesia jalanannya semrawut dan menjadi tantangan tersendiri untuk bisa mengemudi di sini.
Razi pun sempat menjajal kembali melamar ke sejumlah kantor di tanah air. Namun ternyata banyak di antaranya yang sebelum membuat ia melangkah lebih jauh sudah membuat frustrasi. “Dari pengalaman sebelumnya, biasanya saya sudah bisa menganalisis apa yang akan terjadi bila masuk ke sebuah perusahaan dengan melihat struktur dan kulturnya. Nah, ketika ditambah dengan deal angka yang tidak cocok, maka saya lebih memilih mundur,” ujarnya.
Merasa tidak mungkin bekerja kantoran, Razi memutuskan untuk membuat layanan agensi sendiri, sampai akhirnya di penghujung 2011 ia mendapat kesempatan untuk bergabung dengan Indonesia Mengajar. “Di sanalah saya mulai menerapkan perubahan sistem manual menjadi digital. Seperti misalnya penyaringan applicant. Hasilnya? Berhasil memangkas waktu dan membuat sebuah proses menjadi lebih sederhana,” jelasnya.
”S2” yang dibayar
Banyak orang yang setelah merampungkan studi dan menjadi sarjana, ingin melanjutkan ke program magister, termasuk Razi. Namun ia tidak menginginkan sebuah metode perkuliahan konvensional. “Jadi ketika saya sudah mengambil ancang-ancang untuk menjalankan Setipe.com (dulu bernama klikjadian.com) ada tawaran untuk menggarap Zalora bersama Nadiem Makarim (Go-Jek),” katanya.
Kesempatan ini dinilainya sebagai kesempatan untuk “kuliah” S2. “Saya yakin ada banyak pengalaman yang bisa dipetik ketika memutuskan bergabung, dan ini juga momen yang banyak mengajarkan saya ketika membangun sesuatu dari nol,” lanjut Razi.
Setahun berselang, ia mengundurkan diri dari Zalora dan kembali ke fokus lamanya, mengembangkan biro jodoh online.
Potensinya sudah saya lihat sejak 2010 sebenarnya. Terlebih saya sewaktu di Australia sudah sempat terjun ke ranah ini. Namun satu yang saya yakini adalah Indonesia berbeda dari negara lain untuk urusan ini, sehingga kita tidak bisa serta merta mencomot sesuatu dari luar dan mengembangkannya di sini.
Di tengah-tengah pengembangan Setipe, Razi sempat memutuskan break beberapa waktu karena terlibat dalam situs relawan Turuntangan. “Itu sekitar 9 bulan, setelah Presiden Joko Widodo terpilih saya kembali mengembangkan Setipe,” ujarnya.
Liburan versi saya…
Banyak cara orang untuk mencari inspirasi. Tidak jarang ide muncul di momen yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Pun demikian halnya dengan Razi. “Liburan yang ideal bagi saya itu membawa kerjaan. Jadi pernah pergi ketika saya pergi ke Jepang, inspirasi itu bermunculan secara tiba-tiba. Mungkin karena nggak ada pressure. Jadi nggak heran kalau di akhir pekan saya mencoba melakukan sesuatu yang tidak terpatok dengan deadline.
Bicara mengenai bacaan favorit, pria yang mengaku banyak menjadikan pengalaman sebagai inspirator ini mengaku bila buku Growth Hacker Marketing karya Ryan Holiday adalah salah satu bacaan favoritnya. “Isi di dalamnya rasanya gue banget. Seperti yang sudah saya lakukan sejak dulu, dan seolah memvalidasi dasar pemikiran saya,” kata Razi.
Razi juga mengaku kurang menyukai presentasi motivator yang terkesan monoton. Untuk hiburan yang sifatnya visual, ia lebih menyukai serial TV luar. Favoritnya adalah Mad Men. “Saya kebetulan adalah penyuka drama yang kompleks. Lewat Mad Men bahkan saya bisa blajar bagaimana gesture bisa mempengaruhi orang,” tambahnya.
Sementara untuk musik, pria penyuka musik gratis ini mengaku mengapresiasi singer songwriter. “Saya memang sudah lama sekali tidak membeli CD. Tapi yang pasti saya suka musisi yang tidak hanya sekadar memainkan musik atau menyanyi, tapi tahu maknanya. Kebanyakan sih rap dan hip hop seperti Mos Def, Immortal Technique, dan Public Enemy,” bebernya.
Mudah bosan vs rapi
Apakah Anda tipikal orang yang tidak suka dengan rutinitas? Pria yang di awal merintis Setipe sempat melakukan semuanya seorang diri dari membeli furnitur sampai mengganti lampu ini juga mengaku memiliki karakter yang sama. “Saya mudah bosan, tapi saya suka kerapihan di ruang kerja,” ujarnya.
Tak mengherankan bila ia mengaku tidak memiliki meja khusus di kantornya. “Saya biasanya duduk di manapun yang saya suka. Dulu malah saya sempat kerja di cafe setiap hari sampai pemiliknya kenal baik dengan saya,” lanjut Razi. Menurutnya, suasana cozy di cafe adalah tempat yang paling cocok untuk bisa produktif dan fokus bekerja.
Kesukaannya akan kerapihan membuat pria penyuka kopi ini selalu mempersiapkan apa yang diperlukan keesokan harinya dari malam sebelumnya. “Bahkan idealnya sampai apa yang akan dipakai besok pun sudah disiapkan dari malam. Ini sebenarnya seperti anjuran orang tua ketika kita masih kecil, sepulang sekolah jangan lupa membereskan buku,” tutur Razi.
Takut setiap hari
Perjalanan beberapa tahun di ranah entrepreneur tidak membuat Razi bebas dari rasa takut. “Kalau mau jujur bahkan setiap hari,” ujarnya seraya tertawa. Beberapa hal yang bisa membuatnya merasa takut adalah munculnya masalah tidak terduga yang bisa datang dari segala penjuru.
Meski begitu, Razi memiliki cara sederhana untuk melawan rasa tersebut. “Jalani saja, saya sudah pernah bangkrut sampai ke titik terendah dalam hidup sampai dua kali. Pertama waktu di Australia dan kedua waktu awal kembali ke Indonesia, tapi justru momen kegagalan itu yang paling berkesan buat saya,” tandasnya.
The post Founder Stories Setipe.com: “Membuang” Segenggam Emas demi Sebongkah Berlian appeared first on Tech in Asia Indonesia.