Quantcast
Channel: Tech in Asia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

RPP E-commerce, Dukungan Pemerintah yang Terkesan Masih Setengah Hati?

$
0
0

Hari ini (1/7), Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) mengadakan sebuah konferensi pers untuk menyampaikan pandangan resmi mereka terkait matriks draft RPP E-commerce yang telah dibuat oleh Kementerian Perdagangan RI. RPP E-commerce sendiri telah diwacanakan sejak tahun 2013, namun pihak Kemendag baru melakukan uji coba publik pada 17 Juni 2015 silam. Anehnya, pihak idEA mengaku tidak dilibatkan dalam penyusunan RPP tersebut. Inilah yang memunculkan ramainya isu ketidaktransparanan pemerintah dalam penyusunan RPP E-commerce ini.

Bahkan pada saat uji coba publik, pihak idEA juga tidak diberikan akses kepada materi RPP. Baru pada tanggal 21 Juni, Kemendag mengirimkan draft RPP kepada idEA dan meminta masukan hanya dalam waktu 7 hari. Waktu yang dinilai relatif singkat untuk RPP yang berisi sekitar lebih dari 70 pasal dan krusial bagi masa depan industri e-commerce nasional ini. Pada 29 Juni lalu, idEA mengirimkan surat resmi terkait pandangan mereka terhadap matriks RPP dan pengajuan perpanjangan waktu. Bagaimanapun, hingga kini belum ada jawaban dari Kemendag apakah perpanjangan waktu tersebut dikabulkan.

Berikut lima pandangan idEA terkait matriks draft RPP E-commerce:

Diperlukan kejelasan batasan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat dalam transaksi ecommerce

Menurut ketua umum idEA, Daniel Tumiwa, draft RPP E-commerce masih dinilai belum mempunyai kejelasan tentang batasan tanggung jawab pelaku usaha di sektor ini. Kini, batasan yang disediakan baru sebatas Pedagang, Penyelenggara Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PTPMSE), dan Penyelenggara Sarana Perantara. Padahal, ada banyak model bisnis e-commerce di Indonesia yang tentunya memiliki lingkup tanggung jawab yang berbeda. Misalnya, situs marketplace seperti Tokopedia tentunya berbeda dengan situs iklan baris seperti OLX.

Diperlukan kesetaraan penegakan aturan terhadap pelaku usaha yang berkedudukan di dalam wilayah indonesia dan luar negeri

idEA berharap pemerintah bisa berlaku adil dan menegakkan peraturan yang seimbang bagi pelaku asing yang berada di luar wilayah Indonesia. Dalam hal ini, pelaku asing diartikan sebagai perusahaan yang berkedudukan di luar negeri namun memiliki layanan yang digunakan oleh masyarakat tanah air. Jika tidak diterapkan peraturan serupa, dikhawatirkan para konsumen akan beralih ke pelaku asing yang yang tidak diatur oleh hukum Indonesia.

Kewajiban untuk memiliki, mencantumkan, dan menyampaikan identitas subjek hukum akan mematikan industri e-commerce Indonesia

Matriks RPP E-commerce ini juga mengharuskan konsumen dan pedagang mencantumkan identitas subjek hukum seperti KTP, izin usaha, dan nomor SK Pengesahan Badan Hukum atau yang dikenal dengan KYC. Proses ini dinilai idEA sangat rumit dan menghambat pertumbuhan e-commerce. Selain itu, hingga saat ini belum ada sarana yang disediakan pemerintah agar PTPMSE bisa melakukan verifikasi identitas (KTP) pedagang dan konsumen. idEA merekomendasikan proses KYC hanya dengan menggunakan nomor telepon. idEA berpendapat bahwa selain lebih simpel, regulasi telekomunikasi telah menerapkan KYC terhadap para pengguna nomor telepon.

Perizinan yang berlapis dapat menghambat pertumbuhan industri

Beberapa pasal di matriks RPP E-commerce ini mengharuskan pelaku usaha memenuhi beberapa persyaratan seperti tanda daftar khusus, izin khusus perdagangan melalui sistem elektronik, hingga sertifikasi keandalan. Padahal, pelaku e-commerce sendiri juga diatur oleh Kominfo. Banyaknya perizinan yang harus mereka miliki ini tentunya akan sangat menyulitkan dan membuat canggung pelaku yang baru akan memasuki ranah ini.

Beberapa bagian RPP bertentangan dengan aturan hukum lainnya

Hal yang tak kalah penting adalah, tidak senadanya peraturan hukum yang ada di matriks RPP E-commerce ini dengan peraturan yang sudah ada, seperti UU ITE. Tentunya ini menjadi kebingungan tersendiri bagi para pelaku usaha.

Berkaca dari China

Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik idEA, Budi Gandasoebrata, Indonesia bisa melihat China sebagai contoh. Namun bila ingin sukses seperti China, Indonesia tentunya harus berbenah, terutama dalam segi peraturan. Budi mengatakan:

Pemerintah China mempunyai Great Firewall, tembok untuk membentengi pelaku usaha asing agar tidak bisa masuk. Tapi mereka mengizinkan investasi asing masuk. Contohnya saja Alibaba, yang diinvestasi Yahoo dan Softbank. Indonesia sebaliknya, kita mengizinkan pelaku usaha asing masuk. Tapi mempersulit investasi asing yang bisa mengembangkan para pelaku usaha lokal. Jadi, jika ingin ada kisah sukses seperti Alibaba, kita harus ubah ini.

Baca juga: Peluang dan tantangan e-commerce di Asia Tenggara dan Indonesia

RPP E-commerce yang kabarnya dicanangkan akan selesai pada akhir tahun ini tampaknya masih harus mendapat banyak perbaikan. Pemerintah sendiri tentunya harus transparan dan merangkul pelaku industri dalam proses pembuatannya. Cara ini akan mengurangi kesalahpahaman dan menghindari dirugikannya salah satu pihak. Selain itu, dengan peraturan yang transparan dan adil, industri e-commerce di Indonesia diharapkan bisa bertumbuh dengan pesat.

(Diedit oleh Pradipta Nugrahanto; sumber gambar: Consul TechIT)

The post RPP E-commerce, Dukungan Pemerintah yang Terkesan Masih Setengah Hati? appeared first on Tech in Asia Indonesia.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

Trending Articles