Makanan boleh jadi merupakan komoditas gaya hidup kaum urban yang potensial, tak terkecuali di Indonesia. Sehingga bukan hal yang aneh bila belakangan terus bermunculan food blogger. Namun bagaimana dari sisi media? Selain portal berita mainstream dan sederetan media lain yang memiliki kanal, rubrik atau acara kuliner, media yang secara spesifik memfokuskan di ranah ini terbilang masih sedikit. Berangkat dari kondisi tersebut, Farrago mencoba memberikan warna baru di ranah kuliner tanah air. Apa saja yang media ini coba tawarkan untuk para penikmat kuliner? Simak penuturan Editor in Chief Faarago, Syarief Hidayatullah, kepada Tech in Asia.
Berangkat dari majalah online
Farrago tadinya merupakan majalah online yang berfokus di ranah food and fashion yang berdiri sejak pertengahan 2012. Menurut Syarif, saat itu konsep yang diusungnya benar-benar mirip dengan majalah konvensional. “Kalau orang mengakses, kami bahkan menampilkan cover, seperti majalah biasa saja. Pun dengan rubrik di dalamnya juga seperti majalah gaya hidup pada umumnya, ada fashion spread dan lain sebagainya,” jelas Syarief membuka percakapan.
Di bulan Agustus 2014, Syarief dan timnya memutuskan untuk berganti format menjadi situs dan perlahan mulai melepaskan image majalah. “Tampilannya sekarang juga lebih portal, elemen fashion yang dulu ada sekarang lebih diredam dan lebih menonjolkan sisi makanannya,” ujarnya. Meski begitu, Syarief tidak menampik bila sejumlah konten yang ada di dalam Farrago masih bersinggungan dengan gaya hidup. “Elemen seperti film, musik, dan selebriti tentunya tetap ada. Namun tidak lepas dari core-nya yaitu makanan,” tambahnya.
Mengakomodasi kebutuhan baru food enthusiast
Memutuskan untuk memfokuskan diri ke ranah makanan tentunya membuat saya bertanya-tanya. Apakah ranah ini dinilai cukup “seksi” di industri media? Syarief mengakui bila dirinya yang selain pemerhati media ini melihat adanya gap pemenuhan kebutuhan informasi di bidang makanan. “Itu adalah problem yang sejauh ini kami lihat. Karena makanan terbilang paling jarang terekspos dibanding elemen gaya hidup lain. Sebutlah teknologi, fashion, film, atau musik, nah makanan ini tricky. Setiap hari orang memang makan, tapi apa setiap hari juga orang mau membaca informasi tentang makanan? Waktu memutuskan untuk mengubah format Farrago adalah karena saya belum menemukan situs makanan yang oke di Indonesia. Saya hanya terpikir Detikfood. Tapi hampir tiap situs berita lain juga memiliki section makanan,” bebernya.
Masih minimnya jumlah media yang berkecimpung di ranah ini menurut Syarief disebabkan oleh dua faktor. Yang pertama adalah konten berbau makanan memang kurang diminati di tanah air, dan kedua adalah belum adanya media yang “berhasil” di ranah ini.
Farrago sendiri mencoba menerapkan strategi berbeda dengan situs berita lain yang memiliki konten makanan. “Makanan selalu identik dengan resep, dan kedua review. Kami justru mau membidik di luar kedua itu. Seperti misalnya value dari makanan, cerita, budaya, atau industrinya,” jelas Syarief.
Ia juga menilai saat ini para food enthusiast juga sudah memiliki karakter yang berbeda. “Sering bukan kita melihat adanya keluhan di media sosial mengenai pelayanan restoran? Nah itu artinya mereka sudah mulai aktif dan membutuhkan medium interaktif. Kami mencoba menjelaskan bagaimana alur kerja writer, waktu pelayanan standar, ini nggak cuman buat konsumen, namun juga pelaku industrinya,” ujarnya lagi.
Makanan dan kekuatan Indonesia
Syarief yang pernah tinggal di Amerika Serikat mengaku memiliki pengalaman unik seputar makanan Indonesia. “Dulu setiap minggu saya dan teman-teman satu apartemen yang berasal dari Amerika dan Eropa sering “adu skill” membuat makanan khas tiap-tiap negara. Nah suatu kali saya iseng beli bakwan frozen dari supermarket khusus Asia. Ternyata mereka semua mengatakan enak. Padahal kalau dibandingkan dengan gorengan di Indonesia jelas tidak ada apa-apanya,” tutur Syarief.
Dari sana, dirinya sadar bila makanan adalah aset tanah air yang bisa diandalkan. “Coba saja lihat sektor lain. Teknologi jelas belum, fashion jujur saja berat, musik? Terkecuali dangdut rasanya masih biasa-biasa saja. Sederhananya, kalau mau banyak-banyakan makanan tradisional, rasanya cukup yakin bila Indonesia menang,” ujar Syarief.
Meski begitu, Syarief dan timnya tidak serta merta membuat Farrago berisi makanan Indonesia saja. Hal ini dikarenakan dari survei yang mereka lakukan, konten yang diminati pembaca adalah makanan baru, tren, dan apa yang sedang hit di dunia makanan saat ini. “Kami menghadirkan semua yang berhubungan dengan makanan dan bisa dinikmati orang-orang Indonesia,” tambahnya.
Bersiap merambah UGC
Sadar akan pentingnya interaksi dari pengguna, Farrago juga berencana untuk menghadirkan fitur User Generated Content (UGC). “Nantinya pengguna bisa login dan mem-posting artikel. Namun tentu saja akan ada proses kurasi dari editorial kami. Fitur ini akan diluncurkan sekitar Juni sampai Juli ini. Oh ya, nantinya juga akan ada vote dan sistem reward.”
Tak hanya berhenti di sana, Farrago juga tengah menyiapkan fitur transaksi yang rencananya akan dihadirkan pada penghujung tahun 2015. “Kami belum mau menyebutnya e-commerce, marketplace atau apa. Tapi misalnya nanti ada review restoran, bisa ada buy button. Lalu kalau ada review film seperti misalnya Julia and Julia bisa beli DVD/Blu-ray orisinalnya. Yang pasti bukan kayak marketplace dimana semua orang bisa berjualan. Kalaupun ada pihak luar, maka kami yang approach. Sama dengan konten, semuanya akan melalui proses kurasi,” lanjut Syarief.
Lebih lanjut Syarief menuturkan bila orisinalitas konten yang ada merupakan hal yang diutamakan dari Farrago. Hal ini membuat pihaknya dengan sumber daya yang terbatas sedikit kesulitan untuk menghadirkan informasi tentang makanan-makanan lain yang ada di luar Jakarta. “Saat ini memang fokusnya masih di Jakarta. Namun ketika ada kesempatan untuk bisa ke daerah lain, kami mencari spot-spot unik di kota lainnya. Nah ini juga tujuan dari UGC ini, untuk menjaring konten-konten dari kota yang jarang terekspos, crowdsourcing sekalian istilahnya,” ujarnya.
Tidak andalkan pageview
Bila kebanyakan media online lain mengandalkan pageview sebagai salah satu alat untuk mempermudah monetisasi, tidak demikian dengan Farrago. Sejauh ini mereka mengaku baru memiliki pageview 20.000 per bulan. “Jumlah tersebut pastinya sedikit untuk ‘dijual’. Kami sendiri lebih berfokus pada bounce rate dan average time on site,” lanjut Syarief.
Terkait monetisasi, Farrago yang tergabung dalam Magpro Publishing ini mengaku masih mendapatkan suntikan dana dari EMAX Group. “Saat ini content marketing masih menjadi salah satu andalan dalam proses monetisasi. Yang jelas di rate card tidak ada jualan banner, sih,” jelas Syarief.
Ke depan Farrago berencana mengadakan sejumlah event offline, seperti cooking demo, sharing session, dan juga kolaborasi dengan sejumlah perusahaan teknologi. “Semisal yang sudah disepakati kerja sama dengan Kincir.com, ‘Makan-makan Artis dengan Fans’. Content marketing adalah andalan kami. Kebanyakan monetisasi memang B2B.”
Farrago dengan staf berjumlah 3 orang yang terdiri dari managing editor, writer, dan desainer ini juga masih belum berencana membuat aplikasi. “Untuk aplikasi belum karena menurut saya masih belum sebegitu massive-nya kebutuhan terhadap aplikasi. Namun optimalisasi situs mobile saat ini menjadi fokus kami.”
Bagaimanapun Farrago nampaknya masih harus berusaha keras untuk eksis di ranah media kuliner tanah air. Startup lain yang juga bergerak di ranah pembahasan masalah kuliner adalah CeritaPerut.
(Diedit oleh Lina Noviandari)
The post Farrago Ingin Berikan Edukasi Tentang Kuliner Lewat Media Online appeared first on Tech in Asia Indonesia.