Wanita bisa dibilang masih kurang populer bekerja di sektor IT pada sejumlah perusahaan di Indonesia karena berbagai alasan. Namun beberapa di antaranya berani maju sebagai pionir. Pada seri FEMALEDEV, Tech in Asia mewawancarai para wanita muda yang memilih berkarier di ranah coding.
Leonika Sari Njoto Boedioetomo, Founder Reblood
Leonika Sari Njoto Boedioetomo adalah seorang developer sekaligus Founder Reblood, sebuah aplikasi yang mendorong orang untuk menyumbangkan darah. Startup miliknya saat ini menjadi bagian dari program inkubasi Start Surabaya. Leonika juga aktif di komunitas FemaleDev di Indonesia, sebuah program yang menghubungkan para wanita Indonesia yang bekerja di ranah IT.
Leonika sendiri masih berstatus mahasiswi jurusan sistem informasi di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Tahun lalu, ia adalah salah satu dari 47 mahasiswa-mahasiswi terpilih untuk berpartisipasi dalam program entrepreneurship bootcamp di MIT – setelah melewati saringan dengan lebih dari 50.000 pendaftar.
Q&A
TiA: Bagaimana awal mulanya Anda mulai aktif di ranah programming?
Leonika: Saya mulai berkecimpung di ranah ini sejak semester pertama di universitas. Saya memilih jurusan sistem informasi yang memerlukan kemampuan programming yang baik. Tapi pada saat itu kemampuan saya sangat buruk. Saya mendapat nilai C untuk mata kuliah pengantar di semester pertama.
Meski kelihatannya sulit, ada sesuatu yang menarik dari programming. Ibaratnya seperti memecahkan teka-teki. Programming memicu rasa ingin tahu yang membuat Anda bisa tetap terjaga di malam hari untuk membuat kode yang Anda buat berjalan dengan baik. Itu sebabnya saya belajar siang dan malam, melihat layar hitam dan putih yang sama, mengetik setiap karakter untuk memastikan tidak ada kesalahan.
Untungnya, saya kemudian mendapat nilai A pada mata kuliah lanjutan di semester kedua.
Lalu, bagaimana awalnya Anda mendirikan Reblood?
Pada tahun 2013, saya bergabung di Reblood Indonesia untuk memecahkan masalah e-health, khususnya donor darah, dengan menggunakan teknologi. Kami mengembangkan sistem rantai suplai darah untuk rumah sakit dan bank darah. Sayangnya, proyek ini sekarang dalam masa hibernasi, karena ketidakcocokan dengan sistem rantai suplai darah saat ini. Selain itu, masalah terbesar dalam distribusi darah, yakni kurangnya donasi, juga menjadi kendala kami.
Proyek ini kemudian terlahir kembali sebagai “Reblood,” ide yang saya bawa sebagai hasil dari keikutsertaan di program bootcamp MIT. Tim kami telah mengembangkan aplikasi ini sejak Oktober tahun lalu, dan kami meluncurkannya pada 24 Mei tahun ini.
Reblood mendorong pengguna untuk menyumbangkan darah secara rutin. Ini kebiasaan yang ingin kami ciptakan. Dalam aplikasi ini, kami menggabungkan teori altruisme dengan teknik gamifikasi untuk menciptakan pengalaman pengguna yang menarik.
Startup yang saya bangun bersama tim memiliki mimpi sederhana: Tidak akan ada lagi orang Indonesia yang menderita karena tertundanya proses transfusi darah. Itulah yang akan saya kerjakan di masa depan.
Boleh cerita sedikit tentang bootcamp MIT dan apa yang Anda pelajari dari program ini?
Program tersebut menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan untuk bisa ikut merasakan banyaknya informasi yang didapat mahasiswa MIT, bekerja dalam kelompok dengan latar belakang dan kewarganegaraan yang berbeda, mendapatkan sesi luar biasa dari dosen MIT senior, dan banyak lagi. Kami belajar tentang framework terkenal yang digunakan oleh mahasiswa MIT untuk membangun startup. Kami belajar bagaimana memahami pelanggan, segmentasi pasar, membangun minimum viable product (MVP), dan sebagainya.
Kapan dan mengapa Anda terlibat di komunitas developer wanita? Apa kegiatan Anda di sana?
Pada Februari lalu, ada acara FemaleDev di sebuah co-working space di Surabaya. Sebagai seorang developer wanita, saya sangat tertarik untuk mengikuti program ini, sehingga saya bisa membantu mempromosikan kesetaraan gender.
Kemudian, pada bulan April, saya diundang sebagai panelis di FemaleDev Summit, sebuah acara tahunan yang melibatkan developer wanita dari berbagai kota di Indonesia. Sayaberbagi cerita dalam membangun Reblood, sekaligus pengalaman sebagai developer wanita.
Apa yang akan Anda lakukan untuk mendorong lebih banyak wanita mempertimbangkan berkarier di ranah IT?
Aktif di komunitas FemaleDev adalah salah satu cara saya untuk mengurangi stereotip tentang wanita dan IT.
Di akhir percakapan Leonika mengatakan bila yakin bila setiap orang bisa coding tanpa peduli kelaminnya. Coding sebenarnya tidak sulit, hanya perlu latihan, seperti belajar naik sepeda. “Selain itu pesan saya bagi para developer wanita, jangan biarkan siapa pun mendefinisikan siapa Anda.”
(Diterjemahkan oleh Lina Noviandari dan diedit oleh Pradipta Nugrahanto; sumber gambar: Mike Licht)
The post [FEMALEDEV] Mengenal Sosok Leonika Boedioetomo, Developer Wanita Tangguh di balik Reblood appeared first on Tech in Asia Indonesia.