Akhirnya kita semua melewati episode ketiga alias lebih dari separuh keseluruhan cerita Life is Strange. Jika kamu masih mengikuti game ini, saya rasa tidak ada review pun kamu akan tetap melanjutkan kisah Max Caulfield sampai akhir. Tapi kalau kamu belum mulai memainkan Life is Strange juga, perbaikilah itu dengan segera memulainya.
Sebelum membaca review ini, ada baiknya kamu memainkan Life is Strange episode pertama dan kedua
Cerita dalam episode ketiga dimulai langsung di malam hari melanjutkan adegan di episode kedua yang berakhir sore hari. Tergantung dari bagaimana akhir dari episode kedua, Max akan dianggap sebagai pahlawan atau dipenuhi dengan rasa sesal mendalam. Perasaan bercampur aduk ini membawa Max ke dalam petualangan penuh masalah di malam hari bersama Chloe.
Ada dua hal yang bisa dibahas dari petualangan membuat onar kedua remaja ini. Dimulai dari untuk urusan cerita, entah ini hanya perasaan saya saja, tapi sepertinya Dontnod selaku developer betul-betul berniat untuk membuat kita lebih simpatik kepada karakter-karakter yang sebelumnya menyebalkan, dan di waktu yang sama membuat kita membenci Chloe yang seharusnya berperan sebagai deuteragonis di sini.
Jika memang efek ini memang yang diincar oleh Dontnod, maka saya akui mereka sangatlah hebat. Tapi kalau ini muncul karena kualitas penulisan naskah yang buruk, ini jelas merupakan nilai merah untuk Dontnod. Karena tidak bisa dipungkiri meskipun memiliki kualitas cerita yang sangat menarik, kualitas penulisan skrip di Life is Strange, terutama penulisan dialog dan monolog para remaja di game ini, terdengar begitu ketinggalan zaman dan sok gaul.
Namun, seperti yang saya singgung di atas, dengan dialog menyebalkan pun Life is Strange tetap memiliki cerita yang luar biasa bagus. Meskipun separuh pertama game berjalan dengan cukup membosankan, namun mencapai bagian akhir, Life is Strange episode ketiga menunjukkan salah satu momen terbaik yang saya lihat di video game selama tahun 2015. Kejutan-kejutan keren dipadu dengan musik dan arahan visual yang luar biasa membuat Life is Strange cocok untuk jadi kandidat game terbaik 2015.
Untuk urusan gameplay sendiri, episode ketiga menyajikan lebih banyak teka-teki yang harus kamu pecahkan. Jika kamu hanya ingin menikmati cerita saja tanpa melengkapi collectible yang tersebar di game, maka puzzle yang kamu hadapi pun tidaklah terlalu susah. Tapi kalau kamu berniat untuk mengumpulkan foto-foto spesial yang tersebar di game ini, pastikan untuk selalu teliti memperhatikan lingkungan sekitar dan bersiaplah untuk pusing dibuatnya.
Lagi-lagi saya mengatakan hal ini, tapi pengalaman memecahkan puzzle yang susah di sebuah game adventure modern tanpa mengganggu cerita utama jelas membuat Life is Strange lebih menarik dari game sejenis di luar sana. Jika game adventure modern seperti buatan Telltale terlalu memanjakan pemainnya, sedangkan game adventure klasik seperti Grim Fandango bisa membuat kita stres, maka tingkat kesulitan Life is Strange berada di kadar yang tepat.
Selain dua aspek di atas, tidak banyak yang bisa dibahas lagi mengenai Life is Strange episode ketiga. Game ini masih memiliki kualitas visual yang tidak jelas antara low-poly atau HD, tapi komposisi warna dan arahan visual yang dimilikinya membuat Life is Strange menjadi sebuah game yang sangat enak dilihat.

Salah satu momen terbaik dalam video game tahun ini
Urusan musik pun game ini tetap mempertahankan pilihan musik-musik berkualitas yang menemani kisah Max Caulfield. Sebagai penggemar grup musik Mogwai yang lagunya dipakai sebagai penutup episode ketiga Life is Strange, saya sangat dibuat kagum dengan hebatnya arahan yang dilakukan oleh Dontnod untuk membuat pemainnya merasakan keheranan, kekaguman, dan berbagai perasaan yang ditunjukkan Max di bagian akhir episode ini.
Seperti yang telah saya singgung, jika kamu sudah memainkan episode-episode sebelumnya dari Life is Strange, sama sekali tidak ada alasan untuk kamu berhenti memainkan game ini. Namun, kalau kamu masih ragu untuk memulai memainkannya, jangan gila, kamu sedang melewatkan salah satu game terbaik tahun 2015.
The post Review Life is Strange Episode 3: Chaos Theory – Bermain Takdir appeared first on Tech in Asia Indonesia.