“Age considers; youth ventures,” kata penulis yang berhasil meraih penghargaan Nobel, Rabindranath Tagore. Sederhananya, makna kalimat tersebut adalah tidak ada batasan usia untuk sukses, semuda apa pun, selalu ada celah untuk berhasil.
Daftar ini adalah tentang mereka, para pemuda yang berhasil membuat gebrakan. Sepuluh orang founder startup ini masih berusia di bawah 30 tahun. Namun mereka kami pilih karena apa yang mereka buat merupakan hal unik dan cocok diaplikasikan di Asia Tenggara. Memang tak sedikit orang-orang yang sudah berusia lebih dari 30 tahun berhasil sukses dengan startup mereka. Bagaimanapun, Anda akan kagum terhadap pencapaian orang-orang dalam daftar ini.
Siu Rui Quek, 27 tahun, Co-Founder Carousell
Ketika Anda mengendarai kereta bawah tanah di Singapura, perhatikan seberapa sering Carousell muncul di smartphone Anda. Semua ini adalah buah kerja keras Siu dan dua co-founder mereka yang tak kalah muda, Marcus Tan dan Luca Ngoo. Apa yang ditawarkan startup asal Singapura ini sederhana saja: memberikan cara mudah bagi konsumen untuk bertransaksi melalui smartphone.
Marketplace ini mendapat traksi yang bagus sejak berdiri tahun 2012 lalu: delapan juta produk terdaftar, dan dua juta di antaranya telah terjual. Setiap menit, Carousell memproses delapan transaksi. Pendanaan yang diperoleh startup ini pun juga cukup banyak, dengan total $6,8 juta (sekitar Rp89 miliar) dari Sequoia Capital, 500 Startups, Rakuten Ventures, Golden Gate Ventures, Darius Cheung, dan banyak lagi lainnya. Keberadaannya juga telah memancing lahirnya penyedia layanan serupa seperti Duriana dan Trezo.
Membuat aplikasi untuk konsumen yang populer di Singapura bukanlah hal mudah. Tak heran bila Siu dan tim menjadi orang-orang unggulan di ranah startup di Singapura. Setelah Carousell melakukan ekspansi ke luar negeri, bukan tidak mungkin bila negara itu menjadi salah satu pintu penghubung startup ke berbagai belahan dunia.
Achmad Zaky, 29 tahun, CEO Bukalapak
Masih perlu bukti bila e-commerce tengah naik daun di kawasan Asia Tenggara? Tengok saja Achmad Zaky yang mendirikan Bukalapak. Bisa dibilang e-commerce ini “saudara” Carousell di Indonesia. Keduanya merupakan marketplace C2C dalam format web dan mobile. Bicara soal pendanaan, di belakangnya ada Gree Ventures, 500 Startups, dan Emtek Group, salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia.
Bukalapak juga berhasil mendapatkan transaksi $80 juta (sekitar Rp1 triliun) di tahun 2014. Karena berfokus pada layanan C2C, layanan yang mereka usung banyak membantu UKM dan perusahaan kelas menengah untuk menemukan pembeli.
Startup ini bukanlah bisnis pertama pria yang akrab disapa Zaky ini. Ia memulai dengan mendirikan warung mie saat masih duduk di bangku kuliah, namun gagal. Setelah itu, ia meluncurkan perusahaan pembuat software yang seiring perjalanan waktu berubah menjadi layanan konsultasi untuk industri teknologi. Bukalapak awalnya hanyalah proyek sampingan, namun perlahan berkembang ketika Zaky melihat potensi di ranah e-commerce.
Jason Lamuda, 29 tahun, CEO Berrybenka
Jason adalah orang yang berpengalaman di ranah e-commerce. Di tahun 2010, ia membuat gebrakan dengan meluncurkan layanan daily deal Disdus di Indonesia, yang setelahnya diakuisisi oleh Groupon. Di akhir 2012, ia mendirikan e-commerce khusus fashion Berrybenka, yang kini telah berkembang ke ranah fashion muslim dengan diluncurkannya Hijabenka.
Berrybenka terus menunjukkan indikasi perkembangan positif, hasil pantauan dari SimilarWeb memperlihatkan bila situs ini berhasil mendapat 590.000 kunjungan sepanjang April 2015. Startup ini berhasil mendapat pendanaan $5 juta (sekitar Rp66 miliar) dari Gree Ventures, Transcosmos, dan East Ventures. (East Ventures juga berinvestasi di Tech in Asia, baca halaman etika kami)
Jason sendiri adalah sahabat Ferry Tenka, founder dari layanan penyedia kebutuhan keluarga Bilna. Keduanya bersama-sama mendirikan Disdus. Setelah akuisisi, mereka berbagi kantor dan investor yang sama (East Ventures) dan mendirikan perusahaan baru. Apakah ada kemungkinan mereka bergabung kembali suatu hari nanti? Rasanya sangat mungkin.
Thuy Thanh Truong, 29 tahun, Founder Tappy
Thuy adalah salah satu contoh entrepreneur muda yang tidak pantang menyerah. Ia mendirikan Greengar – salah satu startup yang berhasil di Vietnam, dan telah mendapat pendanaan dari 500 Startups. Namun kondisi yang tidak diinginkan terjadi, produk mereka yang berupa papan tulis online gagal laku di pasaran.
Thuy tidak putus asa, ia dan timnya mengembangkan produk baru Tappy, yang didefinisikan sebagai aplikasi sosial yang akan mengubah semua lokasi menjadi komunitas online dan pengguna dapat bertemu dengan orang-orang yang menarik serta mendapatkan konten yang relevan dengan kebutuhan mereka. Aplikasi ini baru saja diakuisisi oleh platform pembuat game Weeby.
Meski tidak mengetahui berapa nilai pasti akuisisinya, dengan akuisisi tersebut Thuy menjadi Director of Business Development Weeby di Asia. Kita tunggu saja langkah Thuy selanjutnya.
Lusarun “Trumph” Silpsrikul, 25 tahun, CEO Page365
Kembali ke ranah e-commerce, ada Page365, layanan yang memudahkan pedagang melakukan transaksi online melalui Facebook. Layanan ini memungkinkan penjual melakukan pengecekan pesanan dan komplain, serta menggabungkan itu semua dalam satu interface. Startup ini berdiri setelah Lusarun melihat semakin populernya social commerce.
“Hampir setiap orang kini memiliki teman yang tengah menjalankan toko online mereka sendiri. Seorang teman datang kepada kami dan mengeluhkan masalah yang ia hadapi, ia pun akhirnya menjadi klien pertama kami,” jelasnya. Apakah Anda termasuk yang meragukan prospek social commerce? Lusarun memprediksi bila layanan ini bernilai setidaknya $510 juta (sekitar Rp6,7 triliun) di Thailand. Meski Lusarun enggan memberi tahu berapa jumlah pengguna aktif dari Page365, startup ini telah berhasil mendapat pendanaan awal (seed funding) $400.000 (sekitar Rp5 miliar) dari Inspire Ventures dan Galaxy Ventures.
Farouk Meralli, 29 tahun, CEO mClinica
Farouk tadinya bekerja untuk perusahaan farmasi seperti Pfizer dan Johnson & Johnson. Saat itulah ia menemukan fakta bila perusahaan di ranah ini tidak memiliki data distribusi produk mereka di pasar berkembang. Selain itu, ia melihat bahwa konsumen di negara-negara tersebut menganggap obat-obatan masih relatif mahal.
MClinica yang merupakan startup asal Filipina berharap bisa menghadirkan penggunaan teknologi mobile untuk menjembatani distributor dan konsumen obat-obatan. Pasien yang membeli obat dari perusahaan farmasi yang bekerja sama dengan startup ini akan mendapatkan diskon bila menyediakan nomor telepon. Detail transaksi akan dikirimkan oleh apotek ke mClinica untuk mendapat penggantian dari perusahaan pembuat obat itu. Hasilnya adalah transparansi dan efisiensi pasar, yang akan menguntungkan banyak pihak.
MClinica mengatakan bila pihaknya telah terhubung dengan 1.400 apotek di tiga negara. Hingga saat ini MClinica telah mendapat pendanaan dari sejumlah investor seperti 500 Startups, IMJ Investment Partners, dan Kickstart Ventures.
Ai Ching Goh, 28 tahun, CEO Piktochart
Ai meninggalkan karir sebagai Marketing Manager di P&G dan memulai Piktochart, startup yang memudahkan pembuatan infografis bagi orang awam.
“Salah satu alasan mengapa saya meninggalkan P&G adalah birokrasi yang membuat semua berjalan lambat. Bila Anda menemukan sebuah tren, maka setelahnya harus melakukan berbagai meeting dan jelas itu memakan waktu. Di sisi lain, startup memiliki fleksibilitas lebih,” kata wanita asal Malaysia itu dalam sebuah wawancara dengan Tech in Asia.
Meskipun enggan berbicara lebih lanjut terkait pendanaan, startup ini mengklaim mendapatkan jumlah pengguna dua kali lebih banyak dan peningkatan pemasukan tiga kali lipat pada tahun 2014. Sejauh ini Piktochart sudah memiliki 800.000 pengguna terdaftar di bulan Februari 2014. Pantauan dari SimilarWeb juga menunjukkan perkembangan yang konsisten pada situs ini dari November sampai dengan Maret lalu.
Chang Wen Lai, 27 tahun, CEO Ninja Van
Bagi warga Singapura yang telah melalui wajib militer di negara tersebut, “ninja vans” adalah pencerahan. Untuk yang belum tahu, mereka adalah penjaja minuman dan makanan ringan di tempat-tempat pelatihan wajib militer.
Ninja Van adalah startup yang menawarkan layanan serupa bagi pedagang e-commerce. Layanan yang mereka tawarkan adalah pengiriman “satu hari sampai” bagi perusahaan e-commerce, dan saat ini telah bekerja dengan lebih dari 300 pedagang di Singapura, termasuk Lazada, Guardian, dan Love Bonito. Startup ini telah mendapat pendanaan seri A senilai $2,5 juta (sekitar Rp33 miliar) dari Monk’s Hill Ventures.
Chang sebelumnya pernah mendirikan beberapa perusahaan. Ia adalah ”ironing boy” di Marcella, perusahaan penyedia fashion pria. Setelahnya ia mendirikan Get Fitted, layanan yang memudahkan pembeli menentukan ukuran saat membeli pakaian secara online. Ninja Van adalah perusahaan keempat yang didirikannya, dan menjadi salah satu yang tersukses.
Cameron Priest, 28 tahun, CEO Tradegecko
Sederhananya, startup ini adalah penyedia solusi inventaris. Layanan ini membidik para pelaku UKM dengan menyediakan sebuah interface web untuk mengatur inventaris mereka. Hal ini dinilai lebih praktis ketimbang menggunakan Excel, selain itu juga menghemat kertas, faks, atau biaya lain.
Tradegecko mengklaim memiliki puluhan ribu konsumen, namun sayangnya Cameron enggan memberikan angka pastinya. Sejumlah perusahaan investasi tertarik dengan layanan mereka, startup ini memperoleh pendanaan seri A senilai $6,5 juta (sekitar Rp85,8 miliar) dari NSI Ventures dan Jungle Ventures.
Ferry Unardi, 27 tahun, CEO Traveloka
Traveloka adalah layanan booking hotel dan tiket pesawat yang sudah cukup terkenal di Indonesia. Berdasarkan peringkat comScore, Traveloka menempati posisi pertama untuk kategori booking tiket pesawat.
Situs ini telah mendapat 4 juta sampai 7,5 juta kunjungan dalam sebulan, jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan kompetitor terdekatnya, Tiket yang “baru” mendapat 1,95 juta kunjungan. Kemunculannya tepat ketika layanan travel mulai booming di tanah air, dan membuat 90 persen penggemar travelling memutuskan untuk membeli tiket secara online. Pendanaan mereka disokong oleh East Ventures dan Global Founders Capital.
Ferry adalah salah satu contoh entrepreneur yang tidak cepat puas. Ia memulai kariernya sebagai engineer, namun ia melihat bila ada kebutuhan pada industri travel yang bisa terpenuhi dengan layanan buatannya. Meski begitu, ia tidak serta merta langsung terjun ke ranah itu. Ia memilih menempuh kuliah MBA di Harvard. Rencananya berubah ketika terjadi booming e-ticketing di tanah air dan akhirnya ia memutuskan untuk keluar kuliah.
Traveloka bermula dari layanan pencari tiket pesawat, dan seharusnya tidak ada masalah bila mereka tetap bertahan di ranah itu. Meski begitu, kebanyakan konsumen mengaku tidak senang bila mereka harus menggunakan layanan lain untuk menyelesaikan transaksi. Hal ini mendorong Ferry untuk membuat sebuah layanan yang lengkap bagi konsumen dan meninggalkan zona nyaman mereka. Ferry kini mulai menikmati buah dedikasinya.
(Diterjemahkan oleh Pradipta Nugrahanto dan diedit oleh Lina Noviandari;Sumber gambar: Gosmallbiz.com)
The post 10 Entrepreneur di Asia Tenggara yang Sukses sebelum Berusia 30 Tahun appeared first on Tech in Asia Indonesia.