Setelah minggu-minggu sebelumnya Founder Stories banyak menceritakan tentang startup dengan dua founder, maka kali ini kami kembali dengan satu founder. Datang dari ranah game, Rachmad Imron adalah pendiri studio game Digital Happiness yang terkenal dengan seri game Dread Out. Meski terlihat sebagai sosok yang serius, ternyata Rachmad banyak melontarkan guyonan yang kerap mengundang gelak tawa. Seperti apa pengalaman kewirausahaannya? Simak penuturan lengkapnya!
Kisah cinta pertama
Siapakah cinta pertama Anda? Apakah “si dia” yang berparas jelita? atau “kembang kampus” di tempat kuliah? Bagi Rachmad Imron, cinta pertamanya adalah game. Sempat putus nyambung beberapa kali kalau kata bahasa anak muda masa kini. Namun dengan adanya ekosistem yang membangun, internet, dan dukungan teknologi lainnya yang membuka akses ke pasar global, akhirnya saya bertemu dengan cinta sejati.” jelas Rachmad seraya tertawa di awal perbincangan.
Lalu apa yang melandasi Rachmad memutuskan untuk terjun ke ranah entrepreneur? Jawabannya sederhana, karena senang berkreasi membuat sesuatu. “Bekerja dalam sebuah institusi yang terstruktur akan membuat saya sulit dalam mengakomodir hal tersebut,” ungkapnya. Dari sanalah ia semakin yakin bila membuat bisnis dan perusahaannya sendiri adalah satu-satunya opsi.
Masa muda yang “gila”
Setiap orang pasti pernah muda, dan masa-masa itu selalu menjadi salah satu kenangan terindah sepanjang kehidupan. Demikian halnya juga dengan Rachmad, saat masih berstatus mahasiswa di salah satu kampus ternama di Bandung ia menggambarkan dirinya seorang yang lekat dengan image ugal-ugalan. “Hampir tidak lulus kuliah tingkat pertama, gondrong, penyuka musik heavy metal dan mabuk-mabukan,” selorohnya.
Tentu saja apa yang diungkapkannya tadi hanyalah sekadar guyonan belaka. “Nggak-lah, yang pasti sebagian besar waktu saya dihabiskan untuk bermain game, belajar desain 3D, membaca manga dan yang pasti saya adalah seorang penghobi illegal download,” katanya lagi. Masa-masa gondrong dan geeky itu akhirnya berakhir dengan insafnya Rachmad dan ia sempat memutuskan menjadi dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk mata kuliah Permodelan Digital selama dua tahun.
Sepotong cerita dari balik kamar kos
Digital Happiness bukanlah satu-satunya startup yang sempat didirikan Rachmad. Sebelumnya ia sempat menjajal ranah digital training “Itu hancur lebur tak bersisa,” ujarnya seraya terkekeh. Setelah itu Rachmad mendirikan layanan konsultasi grafis dan technical animation, yang belakangan menjadi fondasi Digital Happiness.
Kenangan paling berkesan dari masa-masa awal Rachmad memulai startup adalah ia mengerjakan semuanya dari bilik sempit di sebuah kos. “Saya selalu bingung ketika ada klien. Kalau dulu ada yang mau datang ke kantor harus bagaimana,” kenangnya. Namun tentunya itu dulu, Rachmad kini bekerja di ruangan yang jauh lebih nyaman dengan jumlah staf 22 orang.
Antara Shigeru Miyamoto dan Gabe Newell
Sebagai seorang pecinta game, tidak mengherankan bila inspirator Rachmad juga datang dari ranah ini. Adalah Shigeru Miyamoto, yang awalnya merupakan product designer yang selanjutnya menjadi pilar Nintendo dan membuahkan game Mario dan Zelda. “Mirip juga sih dengan saya, dengan latar belakang pendidikan yang sama,” ujarnya seraya tertawa.
Tokoh lain yang juga menjadi inspirator Rachmad adalah Gabe Newell, nyaris semua gamer tahu siapa dia. Namun menurutnya yang mungkin belum banyak orang tahu adalah Valve merupakan perusahaan yang 100 persen independen. “Tidak ada investasi dari luar yang masuk ke sana,” jelasnya.
Selain dua figur ini, Rachmad juga mengaku dirinya masih memiliki sejumlah role model. “Banyak banget Steve Jobs jelas, Notch dari Minecraft, Edmund McMillen yang ada di belakang game Super Meat Boy, Takeshi Shimizu dari seri Ju-On, Hayao Miyazaki (Ghibli Studio), oh ya Hidetaka Miyazaki yang sudah membuat Dark Souls dan Bloodborne menjadi sedemikian kerennya, juga Kentaro Kimura (Berserk), Tetsuo Hara (Hokuto) dan Koji Igarashi (Castlevania),” jelasnya. Tak ketinggalan beberapa komedian lokal seperti (Alm.) Benyamin S., Komeng, Sule, Srimulat dan Warkop juga masuk dalam daftar yang menginspirasi dirinya dalam berkarya.
Art book dan musik sidestream
Lalu apa yang dilakukan Rachmad di waktu luangnya? Ia mengaku banyak membaca art book, menikmati musik dan memasak. “Art book The Art of The Last of Us adalah refreshing mata terbaru saya. Banyak yang saya pelajari dari sana, termasuk membuat video naratif yang baik di The Last of Us,” katanya.
Meski di awal sempat disebutkan bila Rachmad hanya bercanda bila ia merupakan penyuka heavy metal, namun nyatanya di playlist-nya ada beberapa album dari grup band cadas seperti Rob Zombie dan Rammstein. “Sisanya Anamanaguchi, Lily Allen, Killers, sama OST. DreadOut, ada Koil, Mocca, Sigmun dan banyak lagi,” ungkapnya.
Tak jarang Rachmad juga menonton film bersama sang buah hati seperti beberapa waktu lalu menonton Spongebob The Movie. “Kalau ditanya apa film yang paling berkesan, John Wick sih, editingnya keren,” lanjut Rachmad.
Bicara soal masakan, ada dua masakan yang menjadi andalannya, macaroni schotel dan crispy scramble egg.” Anak saya biasa menyebut dengan telur gondrong. Sisanya sih recycle makanan yang sebelumnya ada, ada nasi yang tidak habis, dibuatlah nasi goreng dan semacamnya,” lanjutnya lagi.
Work-life balance
Seperti kebanyakan entrepreneur lainnya, ada rasa takut yang terselip pada diri Rachmad. Ketakutan terbesarnya setelah bertahun-tahun menjadi entrepreneur adalah takut “lupa waktu”. Pekerjaan ini adalah hal yang tidak pernah ada habisnya, baik dari segi waktu maupun work load.” Untuk menyiasati ini ia menerapkan metode sederhana, “Saya selalu ingat di belakang saya ada anak dan keluarga, berdoa dan bersyukur atas apa yang terjadi selama ini,” jelasnya.
Sejumlah pengalaman tidak mengenakkan pun pernah dialaminya, salah satu yang paling diingatnya adalah ketika harus kehilangan partner yang telah bekerja sama dengannya dalam kurun waktu yang tidak sebentar. “Meski awalnya terasa tidak enak tapi saya harus terus berusaha untuk bisa berjalan dengan partner baru,” ujarnya. Di akhir pembicaraan, Rachmad memberikan tips untuk para pelaku startup baru dalam satu kalimat:
Ideas are cheap, execution worth a millions
(Diedit oleh Hendri Salim)
The post Founder Stories Digital Happiness: “Nyaris dropout” berbuah DreadOut appeared first on Tech in Asia Indonesia.