Di saat beberapa developer aplikasi mobile lokal banyak mengembangkan aplikasi chatting dan media sosial, Johanes Sung memilih untuk memecahkan masalah produktivitas. Ia mengembangkan aplikasi menulis yang memudahkan pengguna dalam proses menulis dan mempublikasi artikel yang telah ditulis.
Perjalanan Johanes membuat aplikasi produktivitas dimulai pada tahun 2012, dimana aplikasi yang ia kembangkan pertama kali bernama Wisdom Writer. Versi awal dari aplikasi ini menyediakan fitur editor sederhana dengan tampilan yang bersih untuk mempermudah pengguna menulis. Kemudian pada versi berikutnya yang diluncurkan pada tahun 2013, ia menambahkan fitur template untuk berbagai keperluan seperti membuat laporan atau surat, dan memungkinkan pengguna melakukan export dan mencetak dokumen tersebut.
Akan tetapi Johanes tetap merasa kurang puas. “Entah bagaimana, saya merasa bahwa aplikasi itu masih setengah jadi, pengguna menyukai tampilan editornya, tapi tidak dengan fitur export,” ungkap Johanes.
Dari Wisdom Writer ke Matcha
Singkat cerita, Johanes memutuskan untuk merombak aplikasi Wisdom Writer dan meluncurkan ulang dengan nama Matcha pada bulan Mei 2014. “Kami menghilangkan fitur yang tidak perlu, menekankan pada tampilan yang menarik, pemilihan warna, fitur mode membaca malam hari, dan fitur lain untuk para penulis,” ungkap Johanes. “Matcha berhasil mendapat 250.000 unduhan, tapi itu semua sebagian besar berasal dari kampanye gratis. Dari segi penjualan tidak berjalan mulus.”
Walau tingkat penjualan rendah, sebagian besar pengguna Matcha berasal dari luar negeri seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Jadi dengan mendesain aplikasi tersebut untuk platform iPhone, Matcha berhasil mendapat basis pengguna global dari awal. Hal ini juga berhasil menarik perhatian seorang angel investor untuk berinvestasi ke produknya. Akan tetapi Johanes menolak untuk memberikan informasi lebih detail terkait berapa investasi yang diperoleh.
Kemudian pada bulan September 2014, Johanes dan sang Co-Founder, Djemi Limano, mengembangkan tim menjadi empat orang di bawah nama perusahaan InterAre. Dengan investasi dan tim baru, InterAre memiliki kesempatan yang cukup untuk mengembangkan Matcha ke platform iPad dan Mac OS X.
“Pengguna yang kami miliki saat ini sebagian besar merupakan blogger dan penulis yang memerlukan semua alat untuk menulis pada satu tempat. Hal ini termasuk alat jurnalis, pencatat, serta mengambil gambar dan teks dari situs,” ungkap Johanes.
Awalnya mereka berencana untuk merilis versi selanjutnya dengan nama Matcha Latte. Akan tetapi, setelah mempresentasikan produk tersebut dalam ajang Web Summit di Dublin pada bulan November, tim InterAre menyadari bahwa ada hal yang perlu dikerjakan lagi.
“Kami telah membuat Matcha Latte menjadi terlalu kompleks dengan berbagai fitur. Tampilan cantik dan memiliki antarmuka yang menarik, tapi sangat susah untuk menggunakannya. Bahkan saya sulit untuk menjelaskan semua fitur yang ada,” papar Johanes.
Keputusan tim untuk tidak merilis Matcha Latte telah mengantarkan tim ini pada produk versi keempat yang bernama Internote.
Ingin menjaring blogger di seluruh dunia
Dengan Internote, mereka kembali fokus ke ide awal yaitu aplikasi teks editor yang ampuh. Pada versi baru ini selain bisa digunakan untuk menulis, penulis juga bisa memublikasikan tulisan yang dibuat ke sejumlah kanal publikasi seperti WordPress, Tumblr, bahkan media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Internote telah tersedia di iTunes App Store, tapi hingga saat ini tim InterAre masih belum melakukan marketing sama sekali.
“Kami melihat hal ini sebagai tahap uji coba, dimana kami telah memiliki sekitar 500 pengguna yang sedang kami tunggu untuk memberi masukan,” ujar Johanes. “Setelah itu kami akan mengaktifkan kembali basis pengguna kami dari aplikasi Matcha, dan melakukan marketing.”
Tahap selanjutnya yang akan dilakukan tim InterAre adalah menambahkan fitur cloud storage yang memungkinkan pengguna menyinkronkan semua dokumen mereka ke berbagai platform mulai dari iOS, Mac OS X, Windows, dan Android.
“Kami ingin membuat Internote menjadi sebuah tempat kerja untuk menulis dan publikasi. Tidak perlu lagi melakukan copy-paste ke WordPress. Kami ingin menyatu dengan alur kerja penulis, khususnya para blogger,” jelas Johanes. Kemudian saat disinggung apakah mereka akan menargetkan aplikasi ini untuk Indonesia, Johanes berkata “Ya tentu saja, kami akan merilis di Indonesia, tapi kami menargetkan pengguna secara global. Karena ada jutaan blogger di luar sana.”
Untuk masalah monetisasi, Internote berencana menerapkan model bisnis seperti Evernote, yaitu dengan membebankan biaya berlangganan cloud storage berdasarkan besar kecilnya ukuran penyimpanan. Akan tetapi fitur ini akan diterapkan apabila Internote telah terintegrasi dengan cloud platform.
Evernote bisa dibilang menjadi kompetitor Matcha dalam hal aplikasi untuk mencatat, tapi Johanes berpendapatan Evernote tidak seampuh Internote. Ia menjelaskan:
Pengguna Evernote mengeluh terhadap tampilan editor, dan itu lah kelebihan yang kami tawarkan. Evernote merupakan aplikasi untuk mencatat, tapi tidak untuk menulis. Selain itu, apabila Anda seorang blogger dan ingin memublikasikan apa yang sudah ditulis, Anda perlu mengunggah secara manual lagi, dan tidak mendukung fitur publikasi dengan satu sentuhan saja.
Media publikasi seperti Medium yang fokus bagi para blogger dengan tampilan yang indah, bersih, dan lingkungan yang mendukung juga bisa menjadi kompetitor Internote. Tapi Johanes melihat kunci perbedaanya. “Pada Medium, tujuan utamanya adalah untuk menerbitkan. Sedangkan Internote, penggunga didorong untuk menyimpan jurnal dan catatan pribadi. Tidak semua hal dibuat untuk publikasi. Ya, tampilan Medium memang menarik. Tapi apa yang kami buat lebih bagus”.
(Diedit oleh Lina Noviandari)
The post Internote gabungkan fitur untuk menulis dan publikasi dalam satu aplikasi appeared first on Tech in Asia Indonesia.