UPDATE: Video review sudah tersedia di bagian akhir artikel kalau kamu malas baca.
Shinji Mikami yang terkenal sebagai kreator Resident Evil ini akhirnya menelorkan sebuah game baru setelah kerja samanya dengan Suda51 di Shadow of the Damned yang rilis tiga tahun lalu. Setelah ia mendirikan sendiri Tango Gameworks, lahirlah The Evil Within. Dari namanya saja, mungkin sedikit mengingatkanmu dengan Resident Evil. Tapi nampaknya hal itu tidak terbatas pada nama semata.
Lihat juga: [TGS 2014] Preview Resident Evil: Revelations 2 – Resident Evil Kembali Menjadi Survival Horror
Kemiripan The Evil Within dengan Resident Evil, terutama Resident Evil 4 menimbulkan perasaan campur aduk di pikiran saya. Sebagian dari diri saya merasa ini hal yang baik karena survival horror kembali hidup, sebagian lagi saya merasa tidak ada inovasi yang mendalam dari game ini. Meski hal itu bukanlah sesuatu yang seratus persen jelek, presentasi visual yang buruk membuat nilai game ini jatuh di mata saya.
Penuh Momen Menegangkan … Yang Sudah Pernah Dilihat Sebelumnya
Dalam The Evil Within, kamu akan berperan sebagai Sebastian Castellanos, seorang detektif di sebuah kota fiktif bernama Krimson City. Suatu malam, Sebastian mendapatkan laporan bahwa terjadi pembunuhan di sebuah rumah sakit jiwa dan dia ditugaskan untuk menyelidiki apa yang terjadi. Namun begitu dia mendatangi tempat tersebut bersama dengan kedua temannya, kejadian aneh mulai terjadi dan menyebabkan dirinya berpindah ke sebuah dunia yang mengerikan.
Dari plot awal yang disampaikan, game ini terkesan seperti sebuah film horor yang penuh dengan klise bukan? Tapi saya rasa itu adalah daya tarik utama dari game buatan Mikami. Seperti Resident Evil dengan atmosfir bak film horor kelas B, The Evil Within nampaknya ingin mempertahankan sensasi yang sama dengan menunjukkan berbagai hal yang amat klise.
Namun bukan berarti game ini tidak menyeramkan sama sekali. Banyak sekali momen dalam game yang membuat jantung berdegup kencang. Hal-hal seperti berusaha bersembunyi dari kejaran musuh, menghindar dari pandangan musuh yang membawa gergaji mesin, atau hanya sekedar berhati-hati supaya tidak mengaktifkan perangkap yang tersebar di mana-mana cukup membuat saya berkeringat dingin.
Seram, memang. Sayangnya hal yang saya rasakan ini bukanlah sesuatu yang baru. Bagi para veteran survival horror, The Evil Within pasti memiliki banyak momen yang membuat mereka teringat dengan game lain yang serupa. Kebanyakan sih seperti yang sering terjadi di Resident Evil 4 atau Dead Space. Musuh yang datang secara bergerombol, musuh yang muncul tiba-tiba, dan masih banyak kejadian yang membuat kamu berpikir “hmm … sepertinya saya pernah melihat ini sebelumnya”.
Hal yang benar-benar baru yang saya rasakan dalam game ini paling hanya momen-momen ketika banyak kejadian aneh yang terjadi di sekitar Sebastian. Seperti dunia yang terdistorsi sehingga hal-hal mengganggu mulai bermunculan. Contohnya seperti pintu yang tiba-tiba berubah menjadi dinding, darah yang mengalir dari dinding, atau penampakan-penampakan yang sering terjadi dengan tiba-tiba.
Gameplay Seru Yang Butuh Kecekatan Tangan
The Evil Within menawarkan permainan yang membuat saya memikirkan satu hal: Resident Evil modern. Yang saya maksud modern adalah mulai dari Resident Evil 4 hingga Resident Evil 6. Sekali lagi, hal ini bukanlah sesuatu yang jelek. Resident Evil 4 memiliki gameplay aksi yang bisa dibilang cukup baik dengan sistem upgrade senjata yang juga menarik. Saya rasa kedua hal ini diimplementasikan dengan cukup baik juga dalam The Evil Within.
Kegiatan sehari-hari yang akan kamu lakukan dalam The Evil Within, selain berusaha hidup tentunya, adalah menembaki musuh yang berusaha mencabik-cabik dirimu. Mekanisme penembakan dalam game ini terasa cukup responsif. Ada efek goyangan tangan (seperti Resident Evil 4) yang disimulasikan ketika mengarahkan senjata sehingga permainan menjadi lebih menantang.
Selain itu, sumber daya untuk bertahan hidup dalam game ini juga sangatlah terbatas. Kamu harus sebisa mungkin menghemat peluru dan obat-obatan karena jumlah kedua benda krusial ini sangatlah terbatas dalam The Evil Within. Salah bertindak, maka kamu akan menyia-nyiakan benda yang kamu butuhkan demi mempertahankan hidupmu.
Tentu saja kamu bisa menggunakan stealth takedown untuk menghemat peluru, tapi entah mengapa kesempatan untuk melakukan stealth takedown terasa semakin berkurang seraya permainan berlanjut.
Lalu apa lagi yang bisa kita lakukan demi bisa bertahan hidup? Kamu bisa memperkuat kemampuan yang kamu punya ketika kamu mengunjungi ‘dunia cermin’. Dunia tersebut bisa kamu kunjungi ketika kamu menatap sebuah cermin retak di ruangan yang sudah ditentukan. Dunia tersebut bisa dibilang sebagai ‘safe house’ di mana kamu bisa melakukan save dan melakukan upgrade. Upgrade bisa dilakukan dengan membayar sejumlah gel yang seringkali kamu temukan ketika menjelajah atau ketika kamu berhasil mengalahkan musuh.
Seperti Resident Evil 4 atau 5, kamu bisa memperbaharui senjata yang kamu punya ataupun kemampuan dasarmu, seperti kapasitas nyawa hingga kemampuan berlari. Jelas ini akan membuat permainan menjadi gampang bukan? Salah besar.
Sulit Dan Penuh Perangkap
The Evil Within adalah game yang sulit, setidaknya bagi non-veteran di bidang survival horror. Musuh yang ada tidak bisa dibunuh dengan sekali tembak saja. Lebih menantang lagi, musuh yang ada juga bisa membunuhmu dengan cepat meskipun itu adalah satu musuh biasa saja. Game ini sesekali membuatmu berada di posisi yang mengharuskanmu untuk kabur karena mustahil untuk bertahan dari serangan musuh yang banyak.
Walaupun kamu sudah berhasil kabur, kamu tidak bisa bernafas lega begitu saja. Beberapa jenis musuh seperti pembawa gergaji mesin atau mahluk berambut panjang bisa membunuhmu dengan sekali serang saja.
Lalu, tidak sampai di musuh saja. Lingkungan dalam The Evil Within memiliki perangkap yang tersebar di mana-mana mulai dari ranjau darat hingga perangkap beruang. Tapi jangan khawatir, kamu bisa mematikan perangkap tersebut dan menggunakan bagian-bagiannya sebagai sumber daya untuk membuat Agony Bolts. Sekali lagi, game ini mendorong kamu untuk tidak bertindak gegabah. Salah sedikit dan tubuhmu bisa meledak berkeping-keping.
Meski demikian kadang kamu akan menemukan beberapa perangkap yang tergolong terlalu kejam karena kamu sama sekali tidak tahu apa yang akan dilakukan perangkap tersebut. Cara untuk mengetahui dan menghindari bahaya perangkap tersebut adalah di antara kamu mati terlebih dahulu, atau kamu harus terus menerus berhati-hati dalam melangkahkan kaki. Sedikit murahan dan memaksa menurut saya.
Upgrade yang kamu lakukan selama ini hanyalah untuk menambah potensi kamu supaya bisa lolos dari maut. Saya tekankan lagi kata potensi. Ini artinya, jika kamu tidak memiliki sumber daya yang cukup dan kecekatan tangan yang mumpuni, maka jangan harap kamu bisa menamatkan game ini tanpa mati berkali-kali meskipun jumlah nyawa kamu sangat tinggi.
Masalah Teknis Di Mana-Mana
Tahukah kamu, jika The Evil Within disarankan dikunci dalam 30 fps untuk PC? Ya, saya rasa seburuk itulah optimisasi dalam game ini (walaupun sudah ada solusinya lewat debug). Padahal, game ini memiliki rasio 2,35:1 yang seharusnya menurut sepengetahuan saya akan mengurangi jumlah piksel yang terlihat di layar. Saya berani bilang apabila The Evil Within di PS4 tidak diberikan update patch, maka game tersebut akan menjadi game dengan fps terendah yang ada di PS4.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, game ini memiliki rasio 2,35:1 layaknya sebuah film layar lebar dan saya tidak memiliki masalah akan hal itu. Yang saya permasalahkan adalah FOV (Field of View) kamera terlalu dekat dengan sang karakter. Akibatnya, saya tidak bisa terlalu yakin di mana posisi musuh berada dan sudah jelas bahwa sudut yang terlihat sangat tidak nyaman untuk digunakan. Untungnya, hal ini bisa diperbaiki di versi PC.
Visual secara keseluruhan dalam The Evil Within sebenarnya tidak terlalu jelek dan untuk atmosfirnya sendiri terasa sangat baik. Yang menjadi masalah bagi saya adalah tekstur yang tidak konsisten. Tekstur pada karakter terlihat cukup baik dan tidak bermasalah, namun tekstur pada objek lain sering kali terlihat beresolusi rendah. Bahkan yang lebih parah, texture popping masih sering terasa di lingkungan tertentu saat cutscene berjalan. Jelas ini mengurangi pengalaman menegangkan dalam game ini.
Game Survival Horor Yang Tidak Berhasil Memenuhi Targetnya
The Evil Within bisa saja menjadi game survival horror yang baik. Tapi karena keterbatasan pada bagian teknis, game ini jatuh dari ekspektasi awal saya. Game ini sangat menantang karena aksi tembak-tembakannya yang responsif, musuh-musuhnya yang sulit, serta sistem upgrade yang tidak membuatmu menjadi seorang manusia super. Sayang hal tersebut dicoreng dengan masalah-masalah teknis yang seharusnya tidak ada dalam sebuah game kelas tinggi di generasi gaming zaman sekarang.
Steam Link: The Evil Within, Rp. 389.999
PlayStation Store: The Evil Within, Rp 650.000
Xbox Marketplace: The Evil Within, $59.99 (Rp 730.000)
Post [UPDATE] Review The Evil Within – Bukan Horor Baru muncul terlebih dahulu di Games in Asia Indonesia.