Belum lama ini saya menulis sebuah review game berjudul Legend of Heroes: Trails in the Sky. Trails in the Sky sendiri adalah sebuah JRPG yang (seperti game lain dengan genre serupa) memiliki durasi playtime yang sangat panjang dan memainkannya jelas membutuhkan semacam komitmen yang cukup besar. Bisa dibilang review untuk game tersebut selesai cukup terlambat dari waktu yang direncanakan, dan hal ini membuat saya menyadari satu hal, yaitu mengenai betapa pentingnya peran game dengan durasi playtime yang singkat atau dengan gameplay yang tidak terlalu mengikat pemainnya dengan dunia atau cerita yang kompleks dalam industri game saat ini.
Sebenarnya kalau kamu ingat-ingat, saya pernah membahas hal yang cukup mirip ketika saya pulang ke kampung halaman beberapa minggu lepas. Dalam tulisan tersebut saya membahas tentang bagaimana luangnya waktu yang diberikan kota kecil bisa mengingatkan saya tentang kecintaan saya terhadap genre JRPG. Sedangkan selama saya di Jakarta, rasanya untuk memulai sebuah sesi JRPG saja terasa sangatlah berat. Setiap kali saya hendak mulai menyalakan console, atau mengklik icon game bergenre JRPG di PC saya, segala jenis pikiran seperti berapa jam waktu istirahat saya akan terbuang dengan game ini, berapa banyak pekerjaan akan terabaikan karena bermain game, sampai ke berapa game yang akan menumpuk di backlog (daftar hutang game yang perlu saya selesaikan) seandainya saya bermain JRPG dan bukannya bermain game lain.
Padahal setelah saya perhatikan daftar game yang saya mainkan dan waktu bermain saya di Steam, game seperti Binding of Isaac dan Nuclear Throne masing-masing telah memakan 100 jam lebih dan sekitar 70 jam dari hidup saya. Padahal total waktu tersebut jika saya habiskan untuk bermain JRPG sudah cukup untuk menyelesaikan kira-kira tiga sampai empat JRPG berdurasi panjang.
Baik Binding of Isaac dan Nuclear Thrones memiliki kesamaan. Kedua game tersebut memiliki gameplay yang sangat accessible. Seorang bisa saja mulai bermain dan langsung meninggalkan sesi mereka tanpa perlu berpikir panjang, toh satu sesi hanya akan berlangsung paling lama 15 menit. Bandingkan dengan JRPG yang berdurasi panjang dan kadang memaksa kamu untuk menemukan world map atau save point agar bisa menyimpan progres permainan dan berhenti bermain dulu.
Dari segi fun, mungkin saja game seperti Binding of Isaac maupun Nuclear Throne memiliki tingkat fun yang tidak kalah dengan game berdurasi panjang seperti JRPG. Tapi game dengan genre tersebut tidak memiliki kelebihan yang dimiliki JRPG. Kelebihan yang saya maksud adalah kesan yang bisa tertinggal bahkan setelah kamu selesai memainkan game yang bersangkutan. Contohnya, saya mungkin sangat menikmati sesi permainan Nuclear Throne yang saya lakukan, tapi saya tidak akan memiliki kenangan yang baik tentang game ini layaknya kenangan dan kesan-kesan yang saya alami dari bermain game seperti Final Fantasy IX, Legend of Mana, Xenoegears, dan lain-lain, bertahun-tahun yang lalu.
Kemampuan untuk memberikan kesan inilah yang tetap membuat saya berusaha kembali dari JRPG dari waktu ke waktu. Seberapa sulit pun saya harus meluangkan waktu untuk memainkannya.
Sayangnya kelebihan ini sekarang sudah bisa dikalahkan dengan berbagai game lain yang lebih pendek. Kalau saya perhatikan, game yang paling berkesan saya mainkan tiga tahun terakhir adalah game yang memiliki durasi di bawah 20 jam. Sebut saja judul-judul seperti The Last of Us, Tomb Raider, Bastion, Valiant Hearts, dan lain sebagainya. Bahkan tiga game yang paling berkesan, benar-benar berkesan sampai bisa mensimulasikan perasaan yang sama yang saya rasakan terhadap JRPG, adalah game yang sangat pendek. Game pertama yang saya maksud adalah Child of Light yang berhasil saya selesaikan hanya dalam waktu 10 jam, Transistor yang tamat hanya dalam waktu 5 jam, dan Journey yang satu sesi permainannya hanya berlangsung sekitar 90 menit, namun memiliki kesan yang tersisa sampai waktu yang saya rasa masih akan sangat lama bertahan.
Pengalaman saya ini semakin menerangkan kenapa game bergenre roguelike seperti Binding of Isaac, Nuclear Throne, dan Spelunky semakin populer belakangan ini. Pengalaman ini juga memberikan pencerahan akan sikap Hendri yang memiliki PlayStation 3 dan setelah menamatkan Ni no Kuni dan Grand Theft Auto V, hanya memanfaatkan console dia untuk bermain multiplayer dari Call of Duty: Ghost (tentunya ada juga game singkat lain yang dia mainkan dengan PS3 miliknya). Dan yang paling utama, fenomena ini dengan sangat jelas mencerahkan saya akan kepopuleran yang dimiliki smartphone beberapa tahun terakhir ini. Sebab kebanyakan game yang bisa kamu temukan di smartphone, bahkan game yang sangat kuat dalam unsur narasi seperti Murder Room, merupakan game yang sangat accessible dan memiliki sesi yang sangat mudah untuk dimulai dan diakhiri.
Jadi, para developer, perbanyaklah mengembangkan game yang singkat, berkesan, dan tidak mengikat para pemainnya. Ciptakanlah karya-karya yang dapat berkesan dengan sangat lama ke pemainnya meskipun pengalaman yang disajikan adalah pengalaman yang singkat. Saya yakin banyak sekali gamer yang membutuhkan game seperti ini sekarang. Gamer yang waktu untuk bermainnya semakin hari semakin terbatas, atau kalau memang tidak banyak gamer yang membutuhkan game seperti ini, setidaknya saya akan sangat membutuhkannya.
Sedangkan untuk game berdurasi panjang dan membutuhkan komitmen besar untuk memainkannya, tetaplah muncul. Saya yakin, akan selalu ada banyak gamer yang sedang berada di kampung halaman, atau sedang sakit keras dan tidak bisa beraktivitas dengan leluasa, yang membutuhkan kalian untuk menemani waktu-waktu mereka.
Artikel opini adalah artikel yang didasarkan atas pendapat pribadi sang penulis dan tidak menggambarkan pandangan Games in Asia Indonesia secara umum. Di Games in Asia Indonesia, kami menghargai pendapat semua orang baik penulis, kontributor, dan juga para pembaca.
Post [Opini] Developer, Tolong Berikan Kami Game Yang Lebih Singkat muncul terlebih dahulu di Games in Asia Indonesia.