Quantcast
Channel: Tech in Asia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

Nostalgia Review Harvest Moon: Back to Nature – Simulasi Kapitalisme Dan Perbudakan Dengan Kedok Pertanian

$
0
0

Di tahun 2000, Natsume merilis iterasi terbaru dari game simulasi pertanian mereka, Harvest Moon. Dalam game berjudul Harvest Moon: Back to Nature yang dirilis di PlayStation itu, seri Harvest Moon menjadi sangat populer di Indonesia meskipun sebelumnya bisa dibilang Harvest Moon itu termasuk kategori game yang tidak mainstream. Seri yang memiliki judul asli Bokujou Monogatari di Jepang ini bisa sangat populer karena memang seru untuk dimainkan dan digemari oleh gamer baik lelaki ataupun perempuan.

Bagi kamu yang mungkin belum kenal dengan Harvest Moon: Back to Nature, game ini adalah sebuah game yang menempatkanmu pada posisi seorang pemuda yang mewarisi perkebunan dan peternakan milik mendiang kakeknya di sebuah kota kecil bernama Mineral Town. Warisan yang terbengkalai ini telah ditinggal cukup lama dalam keadaan berantakan, dan kamu sebagai pewaris diberi kesempatan oleh walikota Mineral Town untuk memperbaikinya ke kejayaan semula. Semua ini harus bisa kamu capai dalam waktu tiga tahun saja, dan jika sampai kamu tidak bisa memenuhi syarat-syarat yang diminta, kamu akan disuruh meninggalkan kota tersebut.

Lalu kalau memang game ini populer di kalangan berbagai gamer dan juga memiliki tema tentang membangun sebuah pertanian, kenapa saya sebutkan game ini sebagai sebuah simulasi kapitalisme dan perbudakan? Temukan jawabannya di pembahasan lengkap di bawah ini.

Game Besar Dengan Ukuran Kecil Atau Hanya Ilusi Gameplay Saja?

Harvest Moon: Back to Nature | Screenshot 1

Beberapa minggu lalu Sony mengadakan diskon besar-besaran rutin mereka di PlayStation Store. Di antara berbagai game yang didiskon, terdapat Harvest Moon: Back to Nature yang dijual seharga $ 0,99 saja! Kontan saya langsung beli game ini, toh dulu saya menghabiskan Rp 5000 untuk versi bajakannya, dan sekarang saya hanya perlu mengeluarkan Rp 12.000 untuk versi aslinya. Setelah membeli game tersebut, karena telah didesak oleh kakak saya maka saya segera mengunduh game ini (bukan, ini bukan yang dimaksud dengan simulasi perbudakan) dan langsung terkejut dibuatnya. Ukuran file yang harus saya download dari PlayStation Store hanyalah 60 MB saja! Bayangkan saja game yang memiliki playtime puluhan atau bahkan ratusan jam (sebenarnya playtime game ini tanpa batas sih) memiliki ukuran yang sama dengan sebuah album musik dengan kualitas suara menengah.

Setelah melihat kembali dengan langsung gameplay dari Harvest Moon: Back to Nature, saya langsung ingat bahwa sebenarnya tidak terlalu mengejutkan jika Harvest Moon yang dirilis di PlayStation ini memiliki ukuran kecil. Meskipun playtime yang dimiliki sangatlah tinggi, hal yang harus pemain lakukan di Harvest Moon bisa dibilang sangatlah repetitif. Setiap hari hal yang harus kamu lakukan hanyalah bercocok tanam, mengurus ternak, dan bersosialisasi. Semua ini harus kamu lakukan sambil menjaga kesehatan karaktermu. Meskipun begitu terkadang ada berbagai event spesial yang bisa kamu ikuti.

Harvest Moon: Back to Nature | Screenshot 2

Untuk menyelesaikan cerita utama dari Harvest Moon: Back to Nature, kamu harus melakukan semua kegiatan repetitif ini sampai 3 tahun lamanya (waktu dalam game tentunya), dengan perhitungan satu tahun ada empat musim, dan satu musim ada 30 hari. Jujur saja saya cukup bimbang apakah perhitungan waktu dalam Harvest Moon termasuk adil atau tidak. Jika kamu berada dalam satu ruangan, maka jam yang ada di dalam game tidak akan bertambah sama sekali, tapi seandainya kamu jalan-jalan di tengah kota, pantai, atau pegunungan, maka waktu yang berjalan bisa dibilang sangat cepat. Cepatnya waktu berjalan dalam game terkadang membuat saya berpikir bahwa Harvest Moon: Back to Nature sangatlah kejam dalam memberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas, tapi di lain sisi seandainya waktu sehari dalam game ini dibuat lebih lama, maka Harvest Moon: Back to Nature jelas akan menjadi game yang jauh lebih panjang dan mungkin akan semakin membosankan.

Harvest Moon: Back to Nature juga memiliki aspek dating simulation di dalamnya. Di antara puluhan penduduk Mineral Town, ada lima karakter wanita yang bisa kamu dekati. Masing-masing karakter memenuhi trope tersendiri yang biasa melekat pada karakter wanita dalam kisah fiksi. Jika kedekatan karaktermu dengan si karakter wanita sudah mencapai level tertinggi (kedekatan digambarkan dengan lambang jantung hati yang memiliki ukuran dan warna yang bervariasi), maka kamu dapat menikahi karakter tersebut dan tinggal bersama membangun keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah (walaupun kamu tidak akan bisa mewujudkan program KB karena kamu hanya bisa memiliki satu anak).

Harvest Moon: Back to Nature | Screenshot 3

Selain berbagai kegiatan repetitif yang dapat kamu lakukan di Harvest Moon: Back to Nature, kamu juga bisa menemukan berbagai rahasia menarik atau berbagai event random di sela-sela kesibukanmu. Event random bisa muncul dalam bentuk penduduk kota yang tiba-tiba mengunjungimu di pagi hari untuk memberikan sesuatu atau meminta tolong (atau mungkin juga dalam wujud pedagang penipu yang siap menjual barang dengan harga yang tidak tahu diri).

Selain itu rahasia yang ada dalam game ini juga sangatlah banyak dan menarik untuk ditemukan. Mulai dari pertemuan dengan seorang dewi yang bisa terjadi kalau kamu melempar hasil panen atau ternak ke air terjun, pertemuan dengan seekor kappa seandainya kamu melempar timun ke danau sebanyak tiga kali, sampai berbicara dengan sebatang pohon tua yang memohon agar tidak ditebang. Menurut saya pribadi berbagai rahasia serta event random yang ada di Harvest Moon merupakan hal terbaik yang ada dalam game ini.

Gambar Imut Dan Musik Memorable, Kombinasi Yang Sempurna

Harvest Moon: Back to Nature memiliki grafis 3D yang bisa dibilang simpel dan lucu. Karakter-karakter dalam game ini digambarkan dengan proporsi chibi atau super-deformed. Melihat tingkah laku kocak dan simpel seperti lompat-lompat untuk menggambarkan kegirangan, atau ekspresi-ekspresi yang karakter utama keluarkan saat lelah merupakan hal yang menyenangkan.

Kesimpelan dari grafis yang dimiliki Harvest Moon juga membuat game ini cukup tahan menghadapi cepatnya perkembangan kualitas visual dalam game. Meskipun dirilis di console yang berusia dua puluh tahun, game ini tetap terlihat menarik. Satu-satunya kekurangan yang saya lihat dari memainkan Harvest Moon: Back to Nature di tahun 2014 hanyalah resolusi rendah yang dimiliki PlayStation, selain itu bisa dibilang visual dari game ini sangatlah apik.

Untuk urusan musik, saya tidak perlu komentar banyak-banyak. Musik dalam Harvest Moon: Back to Nature jelas enak didengar dan sangat memorable. Bahkan sambil menulis review ini pun lagu-lagu yang ada di Harvest Moon terus menerus berputar di dalam kepala saya.

Yang jelas, kamu tidak perlu khawatir kualitas audio dan visual dari Harvest Moon akan menjadi alasan kamu meninggalkan game ini, karena memang dua aspek ini memiliki kualitas yang terjamin bagusnya.

Mineral Town: Kota Terpencil Penuh Stereotip, Perbudakan, dan Masyarakat Materialistis

Nah sekarang sampai ke bagian di mana saya mencoba melihat Harvest Moon: Back to Nature dari sudut pandang yang dulu tidak akan terlintas di pikiran saya. Saat melihat kakak saya bermain game ini, saya menyadari bahwa game ini betul-betul mengajarkan kita untuk betul-betul memprioritaskan materi di atas segalanya. Setiap hari karakter kita diharuskan untuk bekerja dan menjual hasil panennya demi sesuap nasi. Bahkan tidak jarang juga kita sampai harus mengambil hasil alam milik bersama dengan egoisnya hanya untuk menambah celengan sedikit.

Harvest Moon: Back to Nature | Screenshot 4

Harvest Moon: Back to Nature juga menunjukkan sebuah kota terpencil yang diisi oleh orang-orang materialistis. Butuh bukti? Bagaimana cara supaya kamu bisa akrab dengan penduduk? Dengan sering-sering memberikan hadiah tentunya. Bagaimana cara kamu mendekati karakter wanita untuk dinikahi? Dengan sering-sering memberikan hadiah tentunya. Bagaimana cara membuat anak kamu senang? Dengan sering-sering memberikan hadiah tentunya, bahkan hal ini sudah ditanamkan sedari si anak masih bayi. Memang kamu tetap bisa memperoleh semua ini hanya dengan rajin-rajin bicara saja, tapi apakah kamu cukup sabar untuk melakukannya?

Selain itu tentu saja game ini dipenuhi dengan berbagai stereotip. Mungkin saja hal ini sengaja dibuat untuk memberikan efek yang lebih hidup dan bervariasi di Mineral Town, tapi tetap saja menarik jika kita bahas hal ini baik dari sudut pandang serius ataupun dengan sedikit bercanda. Contoh paling mudah untuk melihat stereotip di Harvest Moon: Back to Nature bisa terlihat dengan mudah di antara lima karakter wanita yang bisa kamu nikahi. Masing-masing wanita, seperti yang saya sebutkan di atas, memiliki karakteristik sendiri-sendiri, dan terkadang karakteristik ini malah menjadi stereotip. Lihat saja Mary, karakter kutu buku yang nampak culun dan (tentu saja) menggunakan kacamata, atau Popuri yang terlihat paling feminim namun memiliki sifat yang teramat sangat manja.

Harvest Moon: Back to Nature | Screenshot 5

Hal terakhir yang membuat saya betul-betul mengernyitkan dahi saat melihat petualangan si petani muda ini di Mineral Town adalah adanya unsur perbudakan di game ini. Di Mineral Town, tepatnya di belakang gereja, tinggal tujuh ekor kurcaci di sebuah gubuk kecil yang untuk ukuran kurcaci-kurcaci tersebut adalah tempat yang cukup besar. Ketujuh kurcaci ini senang bekerja dan mau membantumu asalkan mereka memiliki afeksi yang cukup kepadamu. Cara meningkatkan afeksinya pun cukup mudah, yaitu hanya dengan rajin-rajin mengobrol dan (tentu saja) rajin-rajin memberikan hadiah.

Dengan upah yang sangat rendah itu, para kurcaci tersebut akan bekerja di perkebunanmu dari pukul enam pagi sampai dengan sepuluh malam, sebuah jam kerja yang jelas tidak wajar. Terkadang jika kamu mengobrol dengan para kurcaci itu pun, mereka mungkin mengutarakan ketidak senangan dalam melakukan pekerjaan. Walaupun kadang alasan mereka cukup bodoh seperti tidak mau baju kotor, lebih memilih memasak, atau lebih memilih tidur (oh yang ini cukup wajar sebenarnya).

Mungkin saja developer dari Harvest Moon: Back to Nature tidak mempertimbangkan hal seperti ini saat mereka dalam proses pengembangan. Tapi karena memang hal ini ada, cukup menarik juga jika kita singgung sedikit. Toh seringkali aspek stereotip, perbudakan, dan materialistis yang ada di Harvest Moon: Back to Nature malah bisa membuat kita tertawa.

Verdict: Kerja Terus Sampai Mati Sukses

Harvest Moon: Back to Nature | Screenshot 6

Meskipun memiliki gameplay yang sangat repetitif, Harvest Moon: Back to Nature tetaplah merupakan sebuah game yang berkualitas. Saya sendiri lebih memilih untuk menikmati Harvest Moon: Back to Nature dengan cara menonton kakak saya bermain, tapi tentu saja setiap orang punya cara sendiri untuk menikmati sebuah hiburan. Dibalik segala kebosanan yang mungkin kamu temukan di Harvest Moon, game ini tetaplah sebuah game yang didesain dengan cukup baik, dan memiliki kualitas writing yang sangat bagus dan menghibur.

Jika kamu dulu belum pernah mencoba Harvest Moon: Back to Nature, segera coba karena game ini merupakan salah satu game yang sempat menikmati kepopuleran luar biasa di Indonesia. Kalau kamu dulu pernah memainkan game ini, maka saya sarankan kamu untuk menikmati game ini lagi karena Harvest Moon: Back to Nature merupakan sebuah game yang betul-betul bisa membangkitkan perasaan nostalgia yang sangat tinggi.

PlayStation Store (US): Harvest Moon: Back to Nature, $5,99 (sekitar Rp 70.000)

Post Nostalgia Review Harvest Moon: Back to Nature – Simulasi Kapitalisme Dan Perbudakan Dengan Kedok Pertanian muncul terlebih dahulu di Games in Asia Indonesia.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

Trending Articles