Minggu ini merupakan minggu yang spesial untuk seluruh umat Muslim di dunia. Di awal minggu ini berlangsung sebuah perayaan yang disebut Idul Fitri, perayaan yang bertepatan dengan berakhirnya bulan Ramadhan di mana para kaum Muslim berpuasa sebulan penuh lamanya. Di Indonesia perayaan yang akrab disapa dengan Lebaran ini memiliki tradisi tersendiri, apalagi kalau bukan mudik, tradisi pulang ke kampung halaman untuk para penduduk yang berdomisili di luar daerah asalnya.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun saya kembali mudik ke kampung halaman, bedanya tahun ini perlengkapan tempur saya bisa dibilang cukup matang. Untuk menemani waktu-waktu saya di kampung halaman (yang seharusnya dihabiskan dengan silaturahmi), saya sudah menyiapkan seperangkat PlayStation 3 dengan sekeping blu-ray Ni no Kuni serta belasan game yang sudah saya install di console tersebut, sebuah PSP yang lebih banyak diisi game klasik PlayStation daripada game PSP sendiri, serta sebuah 3DS yang ditemani dengan koleksi game yang sedikit yaitu Bravely Default, Shovel Knight, Golden Sun: Dark Dawn, dan Professor Layton and the Unwound Future.
Sebagai seorang gamer, saya sangat menggemari game bergenre JRPG. Saking sukanya saya dengan genre ini saya bahkan sempat menulis opini tentang bagaimana JRPG tetap akan bertahan di era gaming modern untuk melawan opini tulisan kawan saya, Hendy, tentang bagaimana JRPG sedang dalam kondisi kritis.
Saya tumbuh dari seorang bocah ingusan, ke remaja, sampai menjadi (sedikit) lebih dewasa ditemani dengan banyak sekali JRPG. Namun seiring bertambahnya kesibukan saya sehari-hari, waktu untuk bermain JRPG pun semakin lama semakin sempit. Waktu bermain puluhan jam yang biasanya saya habiskan untuk grinding dan berburu senjata di dunia fantasi, kini habis untuk melakukan grinding di dunia nyata.
Untuk mengimbangi waktu bermain yang semakin sedikit ini, saya semakin sering bermain game indie yang rata-rata memiliki playtime singkat. Berbagai game indie yang saya mainkan semuanya memiliki keunikan tersendiri, hal ini terbukti dari daftar game indie terbaik untuk PC dan console yang berisi game yang sangat bervariasi. Pengalaman yang saya rasakan saat bermain berbagai game indie dengan durasi paling lama sekitar 10 jam (kecuali beberapa game roguelike yang bisa menghabiskan puluhan bahkan ratusan jam playtime) sangatlah luar biasa. Meskipun begitu, rasanya tetap saja ada yang kurang dengan ketika saya bermain game ketika SD dan SMP dulu.
Hal ini saya sadari ketika saya bermain koleksi game yang ada di PS3 dan 3DS saya. Selama mudik ini saya sudah menyelesaikan beberapa game indie mulai dari Shovel Knight, Wayward Manor, rain, Papo & Yo, dan juga The Unfinished Swan. Semi-paralel dengan saat saya memainkan berbagai game tersebut, saya juga memainkan Ni no Kuni di PS3, Bravely Default di 3DS, dan Valkyrie Profile: Lenneth di PSP.
Meskipun selama mudik saya tetap sibuk menulis, berusaha mendapatkan internet, silaturahmi, dan menghabiskan waktu menjelaskan tentang pekerjaan saya sebagai penulis Games in Asia kepada orang-orang tua di keluarga saya, entah kenapa waktu yang saya habiskan di kampung halaman ini bisa membuat saya lebih berkonsentrasi dalam memainkan game saya, lebih daripada ketika saya bekerja dan bermain di Jakarta.
Saat memainkan Ni no Kuni, Bravely Default, dan Valkyrie Profile (oke game yang satu ini mungkin tidak bisa dihitung karena memang merupakan remake game PlayStation), saya langsung berasa seperti dihujani oleh perasaan nostalgia akan kumpulan game yang pernah saya mainkan sedari kecil. Mulai dari gameplay yang memang sepertinya didesain untuk membangkitkan nostalgia akan RPG klasik sampai ke musik yang sangat kental dengan nuansa JRPG (entah apa lah maksudnya ini).
Waktu-waktu yang saya habiskan bermain JRPG di kampung halaman ini tidak saja mengingatkan saya akan betapa cintanya saya terhadap genre JRPG, tapi juga membuat saya berpikir apa sih yang membuat pengalaman bermain JRPG ini begitu spesial dan penuh nostalgia dibandingkan dengan pengalaman bermain game indie yang sering kali saya mainkan belakangan ini. Apakah hanya karena JRPG merupakan genre yang sangat sering saya mainkan dari kecil? Atau mungkin ada alasan lain?
Beberapa pemikiran saya ini membuat saya mengambil kesimpulan tersendiri tentang kenapa JRPG bisa membangkitkan perasaan nostalgia dan kenapa game indie bisa memberikan sebuah sensasi unik tersendiri.
Yang pertama JRPG. Dari berbagai game bergenre JRPG yang pernah saya mainkan, kebanyakan di antaranya memiliki cerita, musik, dan art direction yang sangat berkesan seperti dongeng anak-anak, namun dengan tema yang jika ditelaah lebih dalam menyimpan banyak hal yang tidak akan dimengerti anak-anak biasa. Hal ini sangat nampak dalam Ni no Kuni dan Bravely Default. Segala hal yang ada dalam dua game ini betul-betul mengingatkan saya akan kisah-kisah yang saya baca sewaktu kecil, seakan-akan membawa saya ke dalam petualangan yang selalu saya impikan dari kecil secara interaktif.
Lihat Juga: Review Child of Light – Dongeng Epik Dengan Gebrakan Unik
Sedangkan untuk game indie, kesan yang saya dapatkan dari memainkan lebih dari lima game selama waktu saya di kampung halaman jelas terasa lebih unik. Menghabiskan waktu dengan berbagai jenis game indie rasanya seperti mengunjungi sebuah pameran seni kontemporer di mana setiap langkah yang kamu buat bisa membawamu ke sebuah karya unik yang tidak terduga. Dan meskipun kebanyakan game indie yang saya mainkan belakangan ini memiliki cerita yang nampaknya terinspirasi dari dongeng anak-anak, dunia yang tidak sebesar JRPG membuat pengalaman bermain kebanyakan game indie tersebut tidak semasif bermain JRPG.
Perumpamaan ini mungkin tidak akan saya pikirkan seandainya saya tidak banyak menghabiskan waktu di kampung halaman yang tenang (kecuali suara-suara sepupu dan keponakan saya yang sangat bising) dengan bermain berbagai jenis game. Mungkin juga pemikiran ini bisa muncul karena kampung halaman bisa mengingatkan saya akan banyak kenangan masa kecil, yang memang kebetulan diisi dengan banyak sekali petualangan dalam dunia JRPG. Tapi apapun alasan saya bisa kepikiran hal seperti ini, saya yakin setelah pulang ke Jakarta nanti, tentunya saya akan semakin berusaha untuk menyeimbangkan waktu bermain saya untuk berbagai genre, karena memainkan game yang mengingatkan kita akan masa kecil merupakan sebuah perasaan yang sangat spesial dan menyenangkan.
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu juga punya cerita spesial yang berhubungan dengan mudik dan video game? Kalau memang ada, ceritakan langsung melalui kolom komentar di bawah ya.
Post Bagaimana Pulang Ke Kampung Halaman Bisa Membawa Saya Kembali Ke Genre Game Favorit muncul terlebih dahulu di Games in Asia Indonesia.