Adakah di antara kalian yang merasa kesulitan melihat angka yang terselip dalam lingkaran Ishihara Test di atas tadi? Jika jawabannya adalah iya, maka bisa dipastikan kamu terdeteksi mempunyai kelainan mata Dikromasi/Trikomasi seperti yang saya miliki.
Mengutip dari Wikipedia, kelainan mata yang beken dengan istilah buta warna ini merupakan kelainan genetika yang mengakibatkan ketidakmampuan sel-sel kerucut mata dalam menangkap spektrum warna tertentu. Jadi jika kamu mendengar ada seorang teman kamu yang mengaku buta warna, jangan keburu berasumsi dulu bahwa dia tidak bisa melihat warna sama sekali, karena sebenarnya kami masih mampu melihat warna yang ada di sekitar, hanya saja kami kesulitan untuk mengidentifikasi beberapa warna khusus yang kerap menjadi kendala kecil bagi rutinitas keseharian kami.
Sebagai orang yang divonis memiliki kelainan mata berjenis Deuteranomali (buta warna dalam membedakan warna hijau, kuning dan oranye), saya sendiri baru menemui kelainan ini ketika saya mencoba untuk masuk ke dalam lingkup perguruan tinggi di bidang desain komunikasi visual. Saya sendiri masih ingat betapa mindernya saya ketika gagal melakukan uji tes warna dan mendapati hasil pemeriksaan mata saya yang positif mengidap Deuteranomali.
Namun kelainan ini tadi ternyata tidak seburuk yang saya bayangkan, karena ternyata ada puluhan juta orang kreatif lainnya di luar sana yang masih tetap bisa berkarya meskipun dia mempunyai kelainan mata seperti saya. Diantaranya adalah sutradara Christopher Nolan, founder Facebook si Mark Zuckerberg, Keanu Reeves dan lain-lain sebagainya. Nah, lantas apakah kekurangan yang saya miliki tadi juga berpengaruh terhadap kehidupan hobi saya dalam bermain games? Yep, tidak bisa dipungkiri memang, dan karena alasan itulah saya menulis ini.
Sebagai orang yang memiliki Deuteranomali tadi (saya enggan menggunakan kata pengidap karena buta warna sendiri bukanlah penyakit) maka otomatis saya memiliki respon warna yang sangat buruk dengan keberadaan warna hijau ketika bermain game. Saya ingat betapa payahnya saya bermain game puzzle yang mengandalkan respon mencocokkan warna seperti Zuma yang waktu itu populer di tahun 2003. Dalam game Zuma tadi saya mendapati kesulitan saat melontarkan objek berwarna hijau dan kuning yang memiliki spektrum warna yang hampir sama di mata saya, bahkan untuk mengakalinya tadi, saya dulu sempat terpaksa menaikkan brightness dan contrass dari tabung layar monitor CRT saya agar bisa lolos melewati sulitnya permainan di beberapa level Zuma pada waktu itu.
Kesulitan saya tadi juga tidak berakhir di game Zuma saja. Bahkan ketika saya memainkan game RPG puzzle seperti Might & Magic: Clash of Heroes di handheld NDS sekitar empat tahun yang lalu, progres permainan campaign saya ketika memainkan faction Necromancer terpaksa harus terhambat karena masalah yang sama dengan Zuma tadi. Sucks is’nt?
Problema Deuteranomali tadi juga merembet ke beberapa judul game AAA yang pernah saya mainkan lewat PC yang saya miliki di rumah. Saya masih ingat bagaimana hacking dalam permainan Bioshock 2 benar-benar terasa intense karena selain saya juga harus berhadapan dengan ganasnya kejaran lawan, fokus mata saya juga terbagi dengan mini game hacking yang memanfaatkan ketepatan jari saya dalam memilih spektrum warna hijau dan merahnya, yang kombinasi spektrumnya membingungkan penderita Deuteranomali juga di luar sana. Sehingga bisa ditebak, permainan saya di game Bioshock 2 jadi lebih didominasi dengan aksi serangan frontal dibandingkan strategi hacking yang smart, Toh ujung-ujungnya saya tetap berhasil menamatkan aksi petualangan saya di kota Rapture tadi dalam hitungan 8-9 jam permainan.
Di lingkup permainan mobile game sendiri, harus saya akui bahwa saya bukanlah orang yang piawai ketika menjajal game bertema match three di smartphone Android yang saya miliki. Sebagai pemilik kelainan mata Deuteranomali, saya merasa memiliki respon pengenalan warna lain yang membutuhkan reaksi waktu sedikit lebih lambat dibandingkan mereka yang bermata normal. Karena itulah dalam permainan match three saya cenderung menghindari mencocokkan tile berwarna kuning dan hijau terlebih dahulu, dan lebih memilih warna lain yang ada di board permainan (biasanya diutamakan tile warna biru dan merah). Sehingga bisa dipastikan dalam permainan match three, kecepatan saya dalam bermain selalu dikalahkan oleh teman wanita saya yang jago memainkan game match three, dan kerap memamerkan skor yang dimilikinya ke notifikasi aplikasi chat yang ada di smartphone saya.
Terlepas dari beberapa judul game di atas, harus saya akui bahwa keberadaan color blind mode dalam sebuah feature game sangatlah membantu para gamer dengan kelainan mata Dikromasi/Trikromasi di luar sana. Color blind mode sendiri umumnya menerapkan penambahan pattern (desain berpola) guna membantu para gamer tadi dalam menikmati tantangan permainan yang diberikan game tersebut.
Saya masih ingat bagaimana permainan saya dalam Peggle Nights sendiri jadi sedikit terbantu berkat keberadaan mode yang satu ini. Dalam game yang saya contohkan ini, opsi color blind memberimu bantuan pola tambahan di atas pegs agar kamu bisa membedakan mana special pegs (kuning) dan special score pegs (biru) yang ada di layar. Dengan penambahan feature tersebut, gamer buta warna akhirnya bisa menikmati permainan Peggle tanpa harus salah langkah dalam menembakkan bola yang benar dan tepat demi sebuah lagu ode of joy yang menghiasi akhir permainanmu di Peggle.
Tentunya contoh Peggle tadi merupakan salah satu penggambaran kecil dari besarnya kepedulian developer game dengan keberadaan gamer buta warna di seluruh dunia. Terlepas dari disertakan atau tidaknya color blind mode dalam sebuah game, tentunya tidak menghambat kita dalam memilih game seperti apa yang bisa kita nikmati di luar sana.
Bagi kamu baru saja menyadari adanya kelainan mata seperti saya, jangan berkecil hati dulu karena hobi gaming sendiri tidak akan menjustifikasi kamu layaknya para kritikus pemerhati desain visual di luar sana. Selama kamu terhibur dengan judul game yang kamu pilih dan kamu mainkan, saya rasa opini tentang buta warna dan efeknya terhadap kehidupan gaming hanyalah urusan perspektif belaka bagi gamer Indonesia. Just enjoy your game.
Artikel opini adalah artikel yang didasarkan atas pendapat pribadi sang penulis dan tidak menggambarkan pandangan Games in Asia Indonesia secara umum. Di Games in Asia Indonesia, kami menghargai pendapat semua orang baik penulis, kontributor, dan juga para pembaca.
Post [Opini] Buta Warna dan Efeknya Terhadap Kehidupan Gaming Saya muncul terlebih dahulu di Games in Asia Indonesia.