Quantcast
Channel: Tech in Asia
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

[Opini] Bagaimana Video Game Mengajarkan Saya Untuk Ikhlas

$
0
0

Dari dulu kita sudah terbiasa menerima berbagai jenis kisah fiksi dengan akhir cerita yang bahagia. Kisah-kisah fiksi dengan ending atau cerita yang menyenangkan ini merupakan salah satu pelarian dari dunia nyata yang bagus, karena sering kali apa yang kita alami di dunia nyata itu jauh lebih gelap dan tidak menyenangkan dibandingkan dengan apa yang kita saksikan di kisah fiksi. Meskipun begitu kisah-kisah membahagiakan ini terkadang membuat beberapa orang jadi tidak bisa menerima fakta hidup yang kelam karena terlalu sering mengkonsumsi kebohongan-kebohongan yang hanya menjual mimpi indah tidak masuk akal.

Memang terkadang ada juga kisah-kisah yang tidak hanya memanjakan otak kita dengan mimpi-mimpi palsu dan malah menyajikan kita dengan tragedi yang menyedihkan dan menyayat hati. Tapi meskipun begitu, tragedi-tragedi yang ada di berbagai kisah fiksi seperti drama, novel, komik, ataupun film hanya berfungsi untuk mengingatkan kita akan mungkinnya hal-hal menyedihkan terjadi di dunia. Kisah-kisah tersebut tidak dapat memberikan dampak empati secara langsung kepada pemainnya karena semua yang terjadi dalam kisah fiksi tersebut sudah dirancang dalam skrip yang linear.

Final Fantasy VII | Advent Children

Namun pengalaman yang berbeda jelas sekali akan kamu temukan jika tragedi fiksi tersebut terjadi di sebuah media interaktif seperti video game, di mana tindakan dan pilihan pemain bisa mempengaruhi jalan cerita, entah itu menjadi lebih baik ataupun jadi lebih buruk.

Hal ini pertama kali saya alami saat memainkan Final Fantasy VII. Sudah menjadi rahasia umum (layaknya rahasia bahwa Darth Vader adalah ayah dari Luke Skywalker) bahwa salah satu karakter dalam Final Fantasy VII yaitu Aerith Gainsborough akan mati di akhir disc 1. Meskipun saya dan beberapa teman saya sudah mengetahui tentang event itu, kami tetap saja mencoba mencari-cari (termasuk terkena beberapa mitos dan tipuan yang banyak tersebar sebelum era internet) cara untuk mencegah kematian Aerith atau menghidupkannya kembali. Tapi hal itu jelas tidak mungkin terjadi karena memang kematian Aerith sudah direncanakan oleh Squaresoft menjadi sesuatu yang linear. Saya pun merelakan kematian salah satu karakter terbaik yang ada di game Final Fantasy VII itu.

Apa yang terjadi pada Aerith di Final Fantasy VII mungkin sama seperti apa yang terjadi pada Romeo dan Juliet di kisah karangan Shakespeare dengan judul yang sama. Nasib Aerith sudah ditentukan oleh kreatornya sebelum gamer memulai permainan mereka. Apapun usaha yang gamer lakukan untuk mencegahnya terjadi adalah hal yang sia-sia (kecuali jika kamu mencoba menggunakan GameShark tentunya), namun sisi interaktif yang ada di video game setidaknya memberikan kita harapan untuk dapat menyelamatkan Aerith.

Dragon Age 2 | Dialogue Wheel

Dengan semakin berkembangnya teknologi yang ada untuk mengembangkan video game, sisi naratif dalam video game pun ikut berkembang. Sekarang ini kita memiliki banyak sekali game di mana keputusan pemain semakin berkontribusi kepada jalannya cerita baik secara minor maupun secara keseluruhan. Game seperti Mass Effect, Dragon Age, Fables, dan lain-lain memberikan kita kebebasan semu yang memberikan semacam perasaan tanggung jawab akan apapun yang terjadi di dunia dalam game tersebut. Saya mungkin tidak akan bisa memberikan contoh karena besarnya potensi contoh saya menjadi spoiler, tapi saya yakin para gamer yang pernah memainkan judul-judul yang barusan cukup mengerti maksud saya.

Meskipun banyak contoh game yang membebankan pemainnya dengan pilihan-pilihan yang menentukan jalan cerita, pengalaman bermain game yang membuat saya betul-betul belajar untuk ikhlas, belajar untuk merelakan kepergian, justru saya temukan bukan di game populer seperti contoh di atas. Pengalaman tersebut malah saya temukan di sebuah game yang cukup underrated berjudul Catherine.

Catherine | Screenshot (1)

Melihat cover dari game Catherine mungkin kamu berpikir game ini hanyalah game porno yang tidak mendidik, padahal Catherine menurut saya adalah salah satu game dengan pesan paling positif tentang hidup yang pernah saya mainkan beberapa tahun terakhir. Game ini bercerita tentang Vincent, seorang pemuda berusia 32 tahun yang sudah dikejar-kejar oleh pacarnya untuk segera menikah. Vincent yang sudah merasa nyaman dengan kehidupan bebas seorang bujangan dan hubungan stabil dengan pacarnya yang sudah berjalan lima tahun tidak ingin keluar dari comfort zone dia.

Lihat Juga: [Spesial Valentine] Hubungan Karakter Terbaik Yang Ada Di Video Game

Di tengah dilemanya menghadapi tekanan dari sang pacar, tiba-tiba muncul seorang wanita muda cantik yang mendekati dirinya dan menggodanya. Di saat yang bersamaan juga, muncul fenomena unik di kota tempat dia tinggal, di mana beberapa laki-laki mengalami mimpi buruk, dan jika mereka mati di mimpi itu maka mereka juga akan mati di dunia nyata. Salah satu misi sampingan dalam game ini adalah kamu harus rajin berbincang dengan para pria lain di dalam mimpi supaya bisa membantu mereka menyelesaikan dilema mereka dan selamat dari mimpi buruk yang menimpa.

Catherine | Screenshot (2)

Di sinilah saya melakukan kesalahan fatal. Dari enam pria yang bisa diselamatkan, ada satu pria yang sempat saya lewatkan sekali perbincangan dengan dirinya, dan hal itu membuat saya tidak bisa menyelamatkan karakter tersebut. Karakter tersebut hanyalah karakter minor, baik dia hidup ataupun mati tidak akan mempengaruhi nasib Vincent sebagai karakter utama. Tapi meskipun begitu saya sangat menyesal tidak berhasil menyelamatkannya. Bahkan saya menghabiskan berjam-jam untuk bisa menyelamatkan karakter tersebut meskipun harus mengulangi banyak level yang untuk menyelesaikan membuat saya menghabiskan sangat banyak waktu.

Segala usaha saya tidak ada yang berhasil. Untuk menyelamatkan karakter tersebut satu-satunya adalah dengan mengulang permainan saya dari awal, dan saya jelas tidak punya waktu untuk melakukannya, ditambah lagi saya juga tidak akan sanggup untuk mengulangi puzzle yang tersebar dalam game. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah dengan merelakan kepergian karakter tersebut. Tapi untuk melakukannya saja saya sampai memikirkan keputusan saya selama sehari.

Catherine | Screenshot (3)

Tepat sewaktu saya memutuskan untuk move on, saya sadar bahwa saya baru saja dibuat kepikiran selama berjam-jam oleh sebuah karakter virtual, karakter yang hanya terdiri dari model 3D dan kumpulan baris kode programming saja. Dalam game Catherine, saya sebagai Vincent merasa sangat bertanggung jawab atas kematian salah seorang pria yang terjebak di mimpi yang sama dengan saya, dan untuk bisa melanjutkan perjalanan saya dalam game, saya harus bisa konsentrasi akan apa yang ada di depan, dan jangan sampai terjebak di masa lalu.

Hal seperti ini tentunya tidak sebanding dengan jika kita di kehidupan nyata harus bertanggung jawab atas kematian seseorang. Tapi simulasi perasaan yang diberikan oleh Catherine itu terasa sangat real, sampai bahkan membuat saya cukup ngeri seandainya harus memiliki tanggung jawab seperti Vincent. Setelah melanjutkan permainan pun, saya juga sadar seandainya kita tertimpa tanggung jawab seperti yang Vincent alami, kita harus bisa move on dengan kehidupan kita. Dan sama seperti Vincent, saya juga tidak bisa terjebak di masa lalu.

Lihat Juga: Mekanisme Gameplay Yang Bisa Mempengaruhi Perasaan Pemainnya

Pengalaman saya di Final Fantasy VII dan Catherine mungkin hanya sedikit potongan dari apa yang video game ajarkan kepada saya tentang merelakan sesuatu. Masih ada beberapa pengalaman lain tentunya, tapi sepertinya dua game itu adalah game yang betul-betul sangat berkesan dengan mekanisme gameplay mereka yang memaksa saya untuk merasakan empati kepada karakternya, dan belajar ikhlas dari perasaan empati tersebut.

Beberapa orang mungkin menganggap perasaan ini adalah hal berlebihan, dan tidak penting. Pandangan seperti itu tentu saja sangat normal dan bisa dimengerti. Tapi jelas tidak salah juga kalau kita bisa lebih merasakan hal seperti yang saya ceritakan di atas. Toh hanya ada dua hal yang bisa dibuktikan dari perasaan seperti itu, entah kamu merupakan orang yang memiliki rasa empati tinggi, atau tim writer dari game yang bersangkutan adalah orang-orang jenius, dan kedua hal itu adalah hal positif.

Jadi, apakah kamu sendiri punya pengalaman serupa seperti di atas? Kalau ada, coba saja share di kolom komentar di bawah ini.

Post [Opini] Bagaimana Video Game Mengajarkan Saya Untuk Ikhlas muncul terlebih dahulu di Games in Asia Indonesia.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6222

Trending Articles